Dokumenter Adalah/Bukan sebuah Cap

Tidak ada yang lebih rendah dibandingkan sebuah kebenaran sebagaimana ia dipikirkan.

—Walter Benjamin

Tak ada yang bisa disebut sebagai dokumenter—sekalipun istilah tersebut menandakan kategori material, sebuah genre, sebuah pendekatan, atau serangkaian teknik. Pernyataan ini—sama usang dan mendasarnya dengan antagonisme antara nama dan realitas—harus dinyatakan kembali terus menerus, meskipun kehadiran sangat jelas dari sebuah tradisi dokumenter. Di dalam film, tradisi tersebut, jauh dari krisis yang berlangsung hari ini, agaknya bertahan melalui pasang surutnya yang muncul berulang. Narasi-narasi yang berupaya untuk menyatukan/memurnikan praktik ini dengan menegaskan evolusi dan kelanjutan dari satu periode ke periode lainnya tentunya berlimpah, sangat bertumpu pada konsep periodisasi historisis tradisional.

Di dalam dunia yang sepenuhnya terklasifikasi, sinema sering kali dibakukan ke dalam sebuah korpus tradisi-tradisi. Di satu sisi, kebenaran diproduksi, dibujuk, dan diperpanjang berdasarkan rezim kuasa. Di sisi lain, kebenaran berada di antara seluruh rezim kebenaran. Untuk mempertanyakan citra atas sebuah narasi kesejarahan tentang dokumenter sebagai perkembangan tanpa henti tidak harus berarti mendukung diskontinunitas; dan untuk menentang makna tidak harus berarti mengarah kepada penyangkalan semata. Kebenaran, bahkan ketika “tertangkap dalam pelarian,” tidak berhenti baik pada penamaan atau pada bingkai-bingkai filmis; dan makna harus dicegah sebelum tuntas baik pada apa yang dikatakan dan apa yang diperlihatkan. Kebenaran dan makna: keduanya agaknya disamaratakan satu sama lain. Tetapi, apa yang diusulkan sebagai kebenaran seringkali tidak lebih dari sebuah makna. Dan yang teguh berada di antara makna tentang sesuatu dan kebenarannya ialah interval, sebuah jeda yang tanpanya, makna akan menjadi tetap dan kebenaran menjadi baku. Barangkali inilah mengapa sangat sulit untuk membicarakannya, interval. Tentang sinema. Tentang. Kata-kata tidak akan terdengar sejati. Tidak sejati; tujuan yang diusahakan seseorang dengan film-film yang bermaksud untuk menentukan kebenaran dari kepalsuan ketika visibilitas kebenaran ini tepat berada pada kenyataan bahwa ia palsu? Bagaimana seseorang dapat berhadapan dengan sebuah “teori film” yang tidak pernah dapat menteorikan “tentang” film, tetapi hanya dengan konsep-konsep yang dikemukakan film dalam hubungannya dengan konsep-konsep praktik lainnya?

Seorang lelaki pergi ke kuil Tao untuk menanyakan tentang peruntungannya. Pertama, kata pendeta, “Kau harus mendonasikan uang dupa, karena jika sebaliknya, ramalan tidak akan menjadi sangat akurat. Tanpa donasi itu, bahkan, tak akan ada kebenaran.”

— Kebijaksanaan dan Lelucon Dari Cina Kuno

Konsep tidak kurang praktisnya daripada citra dan suara. Dan teori harus di(de)konstruksikan sebagaimana ia men(de)mistifikasikan obyek studinya. Ketika konsep-konsep sinema bukanlah sesuatu yang hadir dengan sendirinya dan tidak mendahului sinema, ia juga bukan teori tentang sinema. Penciptaan praktik melawan teori, dan sebaliknya, adalah alat sebaik-baiknya bagi tantangan yang timbal balik, tetapi seperti seluruh oposisi biner, ia terjebak di dalam jejaring pemikiran positivis yang daya geraknya bertujuan untuk menyediakan jawaban-jawaban dalam keadaan apapun, dengan demikian ia membatasi baik teori dan praktik ke sebuah proses total. Saya mohon maaf, jika kita akan menggunakan kata-kata kita harus akurat dalam penggunaannya. Ia bukanlah sebuah pertanyaan tentang teknik, ia adalah pertanyaan mengenai material. Jika material tersebut nyata, maka sama halnya dengan dokumenter. Jika material tersebut diciptakan, maka ia bukanlah dokumenter . . . Jika Anda sangat kebingungan dalam penggunaan istilah, hal tersebut hanya memberikan kita kesempatan untuk menghindari pembahasan penuh mengenai film.[i] Dalam usaha untuk menganalisa film dan menciptakan “teori tentang film pada umumnya,” terdapat sebuah kecenderungan yang tak terelakkan untuk mereduksi teori film ke dalam sebuah lingkup spesialisasi dan keahlian, sesuatu yang berperan untuk membangun sebuah disiplin. Pembelaan atas Abad Pencerahan dan konsepsi borjuis tentang bahasa juga hadir, bersikukuh bahwa alat komunikasi adalah kata-kata, obyek faktualnya, pendengarnya adalah manusia sebagai subyek (linear, aturan hirarkis di dalam sebuah dunia reifikasi); sedangkan, bahasa sebagai “medium” komunikasi dalam makna yang paling radikal, “hanya mengkomunikasikan dirinya dengan dirinya.”[ii] Fungsi referensial bahasa lalu tidak dinegasikan, tetapi dilepaskan dari identifikasi keliru atas dunia fenomenal dan dari otoritas yang diasumsikan sebagai sebuah alat kognisi mengenai dunia tersebut. Teori dapat menjadi tempat utama di mana pengetahuan negatif tentang kehandalan prinsip operatif teori itu sendiri dapat diakses, dan di mana kategori-kategori teoritis, seperti seluruh skema-skema tingkat klasifikasi, tetap dianulir, alih-alih diapropriasi, dinyatakan kembali, dan dikawal.

Dokumenter disebut sebagai sebuah kebutuhan untuk memberitahukan orang-orang (Kino-Pravda atau Kamera-Kebenaran Dziga Vertov), dan selanjutnya telah menegaskan dirinya sebagai sebuah reaksi melawan monopoli film sebagai hiburan dalam penggunaan film. Sinema didefinisikan kembali sebagai sebuah medium ideal untuk indoktrinasi dan komentar sosial, nilai-nilai yang berada dalam kapasitasnya untuk “mengamati dan memilah atas kehidupan itu sendiri,” untuk “membuka layar pada dunia nyata,” untuk memotret “adegan yang hidup dan cerita yang nyata,” untuk memberikan sinema “kekuatan lebih dari seribu satu citra”, dan untuk mencapai “sebuah intimasi pengetahuan dan efek menjadi tidak mungkin bagi mekanik studio sembarangan dan interpretasi miskin dari aktor metropolitan.”[iii] Menyatakan kemandiriannya dari studio dan sistem bintang, dokumenter memiliki artinya dalam sebuah pembedaan yang strategis. Ia meletakkan fungsi sosial film pada pasar. Ia menarik orang-orang dan masalah-masalah yang nyata dari dunia nyata dan berurusan dengan mereka. Ia menentukan sebuah nilai dalam pengamatan yang intim dan menilai kelayakannya berdasarkan seberapa berhasilnya ia dalam menangkap kenyataan dalam pelariannya, “tanpa campur tangan material, tanpa perantara,” Cerita hidup yang kuat, situasi-situasi otentik yang tanpa batas. Tak ada retakes. Maka panggungnya tidak lebih dan tidak kurang daripada kehidupan itu sendiri. Dengan memilih, mengurangi dan mengatur elemen-elemen alamiahnya, sebuah bentuk film asli dan tidak terbatasi oleh tradisi teatrikal dan sastrawi, berkembang…. Film dokumenter adalah sebuah bentuk seni yang asli. Ia telah meraih genggaman atas fakta-fakta—dalam tingkat keasliannya. Ia melingkupi sisi rasional dari kehidupan kita, dari eksperimen saintifik hingga studi lanskap puitis, tetapi tak pernah menjauhi yang faktual.[iv]

Dunia yang nyata: sangatlah nyata bahwa tatanan Riil menjadi acuan tunggal yang mendasar—murni, konkrit, tetap, terlihat, semua-terlalu-terlihat. Hasilnya adalah kedatangan estetika obyektifitas sepenuhnya dan perkembangan teknologi yang menyeluruh atas kebenaran dalam mendorong apa yang benar dan apa yang salah di dunia dan, termasuk, apa yang “jujur” dan apa yang “manipulatif” di dalam dokumenter. Hal ini melibatkan capaian menyeluruh dan tanpa henti dari naturalisme di seluruh lintang elemen teknologi sinematik. Citra otentik dan ujaran adalah mutlak bagi sinema tersebut, sebagai contoh, mikrofon directional (melokalisir dan membatasi dalam prosesnya memilih suara untuk tujuan kemungkinan penguraian) dan tape-recorder portable Nagra (tak tertandingi bagi kemampuan maksimalnya yang setia dalam merekam). Bunyi yang sinkron dengan ujaran disahkan oleh kaidah; ia adalah suatu “keharusan”—tidak begitu dalam menggandakan realitas (hal ini telah banyak disinggung di antara pembuat-fakta) sebagaimana “memperlihatkan orang-orang nyata di lokasi-lokasi yang nyata adalah tugas yang nyata.” (Bahkan bunyi-bunyi yang tak sinkron direkam dalam keadaan tertentu dianggap “kurang otentik” karena teknik sinkronisasi bunyi dan penggunaannya yang telah terinstitusionalisasi sudah menjadi “alami” di dalam budaya film.) Waktu yang riil dianggap lebih “tulus” daripada waktu filmis, maka long-take (di mana, sebuah pengambilan adegan berlangsung sepanjang 400 kali rol stok film komersial yang tersedia) dan minim atau tanpa penyuntingan (perubahan pada masa pemotongan adalah “tipuan”, seolah-olah montase tidak terjadi pada tahapan konsep dan syuting) disebut lebih tepat jika seseorang hendak menghindari distorsi dalam menyusun materialnya. Kamera adalah stop kontak kehidupan. Oleh sebab itu, close up dikutuk karena parsialitasnya, ketika sudut lebar diklaim lebih obyektif karena ia lebih melingkupi di dalam frame; maka ia dapat mencerminkan peristiwa-dalam-konteks secara lebih tulus. (semakin, semakin besar, semakin sejati—seolah-olah frame yang lebih luas kurang menjadi frame daripada shot-shot yang lebih sempit.) Kamera ringan, kamera tangan, dengan kebebasannya dari tripod—titik observasi yang tetap—diagungkan atas kemampuannya “untuk tak terhiraukan,” karena ia sesegeranya bergerak dan tak terlihat, menyatu ke dalam ruang lingkup untuk merubah sekecil-kecilnya, tetapi juga dapat memasukan intrusinya untuk digunakan dalam menghasut orang-orang untuk mengujarkan “kebenaran” yang tidak akan mereka ungkap dalam situasi yang biasa. 

Ribuan amatir telah membuat kata [dokumenter] mencapai pengertian sesuatu yang mematikan, bentuk rutin dari membuat film, bentuk masyarakat konsumen yang teralienasi yang bisa tampak patut—seni berbicara berlebihan selama pemutaran film, dengan sebuah komentar yang dibebankan dari luar, untuk mengatakan ketiadaan, dan untuk memperlihatkan ketiadaan.[v] Pengamat sosial yang secara sempurna obyektif tidak dapat lagi bertahan sebagai model yang disayangi di antara pembuat dokumenter hari ini, tetapi dengan setiap penyiaran penonton, setiap Orang, terus diajari bahwa ia adalah seorang Penonton pertama dan paling terdepan. Salah satu dari mereka tidak bertanggung jawab atas apa yang seseorang lihat (karena hanya peristiwa hadirlah yang berarti) atau satu-satunya cara bagi seseorang dapat memiliki pengaruh bagi banyak lah adalah dengan mengirimkan donasi (moneter). Maka, meskipun persepsi pembuat film dengan mudah telah diakui sebagai sesuatu yang mutlak personal, obyektifitas atas realitas yang dilihat dan direpresentasikan tetap tidak dapat ditandingi. [Cinéma-verité:] akan lebih baik untuk menyebutnya sinema-ketulusan…. Ialah, di mana Anda dapat bertanya kepada penonton untuk memiliki kepercayaan diri yang nyata, untuk berkata kepada penonton, “Ini yang saya saksikan. Saya tidak berpura-pura, ini yang terjadi…Saya melihat pada apa yang terjadi dengan mata subyektif saya dan ini yang saya percayai berlangsung…Ia adalah sebuah pertanyaan tentang kejujuran.[vi]

Apa yang dihadirkan sebagai bukti tetaplah bukti, baik mata yang mengamati menilai dirinya sebagai wujud subjektif atau obyektif. Pada inti tersebutlah, alasan berada, tak tersentuh, pembagian Cartesian antara subyek dan obyek yang melanggengkan sebuah dualistik dalam-versus-luar, pandangan dunia pikiran-melawan-materi. Pula, penekanannya didudukkan pada kekuatan film untuk menangkap realitas “di luar sana” untuk kita “di sini.” Masa apropriasi dan konsumsi secara sederhana diabaikan atau dengan hati-hati diberikan tak terlihat berdasarkan aturan dokumenter yang baik dan buruk. Seni berbicara-untuk berkata-omong kosong berjalan bersamaan dengan kehendak untuk berkata dan berkata hanya untuk membatasi sesuatu di dalam sebuah makna. Kebenaran harus dibuat dengan jelas, menarik; ia harus ‘didramatisasi’ jika ia akan meyakinkan bukti bagi penonton, Yang “kepercayaan dirinya” memperkenankan kebenaran untuk mewujud. Dokumenter-presentasi fakta-fakta aktual dengan satu cara yang membuat mereka kredibel dan mengatakannya kepada orang-orang pada saat itu juga.[vii]

Yang nyata? Atau yang repetitif, pembangkitan artifisial atas yang nyata, sebuah operasi yang keberhasilan penundukannya dalam menggantikan tanda-tanda visual dan verbal atas yang nyata diperuntukkan bagi yang nyata itu sendiri, pada akhirnya membantunya menantang yang nyata, dengan cara demikian memperkuat ketidakpastian yang muncul dari pembagian jelas manapun antara keduanya. Pada ukuran apa yang lebih dan kurang nyata, gagasan pokok adalah yang paling utama (“ia sangat sulit jika tidak mungkin,” ujar seorang pengurus film festival, “untuk meminta juri dalam sebuah panel film dokumenter untuk tidak mengenali kualitas sebuah film dengan gagasan yang diolah). Tanpa dipungkiri lagi, fokusnya adalah pengalaman biasa, dengannya yang “sosial” didefinisikan: sebuah pengalaman yang menyoroti, sebagai seorang pembuat dokumenter ternama (Pierre Perrault) menyebutnya (dengan cara paternalistik): “seorang lelaki, lelaki sederhana, yang tak pernah mengekspresikan dirinya).”[viii]

Sang pembuat film yang berorientasi sosial maka adalah si pemberi suara maha besar (di sini, dalam konteks suara yang sepenuhnya laki-laki), yang posisi otoritasnya dalam produksi makna tetap tak tertandingi, mahir berkedok misi moral sedemikian rupa. Hubungan antara mediator dan medium, atau aktivitas mediasi, juga diabaikan—yang diasumsikan transparan, bebas nilai dan sepenuh perasaan sebuah instrumen reproduksi yang mesti—atau lainnya, diperlakukan senyaman-senyamannya: dengan memanusiakan pengumpulan bukti-bukti untuk memperkuat status quo (“Tentu saja, seperti manusia lainnya saya subjektif, tapi meskipun demikian, saya memiliki kepercayaan diri dalam bukti-bukti!”). Dokumenter-dokumenter yang baik adalah yang memiliki gagasan pokok yang “akurat” dan cara pandangnya disetujui oleh penonton. Yang di dalamnya melibatkan sebuah pertanyaan mengenai kejujuran (vis-à-vis material), tetapi ia juga seringkali sebuah pertanyaan akan kesetiaan (ideologisnya), kemudian keabsahannya.

Terlebih, film-film yang dibuat mengenai orang biasa, adalah yang secara alamiah dipromosikan sebagai film-film yang dibuat untuk orang yang sama, dan hanya untuk mereka. Dengan hasrat untuk melayani kebutuhan-kebutuhan yang tak terekspresikan, yang biasanya cukup umum, adalah desakan untuk memaknai mereka dan kebutuhannya. Biasanya, sebagai contoh, ketika pembuat film mendapati diri mereka di dalam perdebatan di mana sebuah film dikritik atas perlakuan sederhana dan miskin atas sebuah subyek, berujung pada sebuah pengelolaan status quo sejati yang mulai ditantangnya, kecenderungan mereka untuk terbebas dari kritik dengan membantah bahwa film tersebut tidak dibuat untuk “penonton mutakhir seperti kita, tetapi untuk penonton umum,” dengan demikian menempatkan diri mereka di atas dan terpisah dari penonton nyata, yang “berada di luar sana”, rakyat jelata yang membutuhkan semua penjelasan atas apa yang mereka saksikan. Meskipun pergeseran tekanan—dari dunia dengan gerak ke atas dan sangat kaya yang mendominasi media ke yang mengenai “kemelaratan mereka”—apa yang tetap utuh adalah oposisi antara si kreatif, si pemasok cerdas, dan si semenjana, si konsumen yang tak tercerahkan. Dalih untuk melanggengkan pembagian demikian adalah kepercayaan bahwa hubungan-hubungan sosial bersifat tetap, oleh sebab itu ia dikaruniai dengan obyektifitas. Dengan “ketidakmungkinan sosial” saya paham … keterangan mengenai ketidakmungkinan yang paling besar dari seluruh “obyektifitas” … masyarakat menghadirkan dirinya sendiri, pada tingkat tertentu, tidak sebagai tatanan yang obyektif dan harmonis, tetapi sebagai sebuah ensambel dorongan-dorongan beragam yang tidak terlihat mematuhi logika yang padu atau berpadu-paduan. Bagaimana pengalaman kegagalan obyektifitas dapat cocok dengan pembenaran atas obyektifitas pokok dari kenyataan?[ix] Orang-orang biasa yang diam—yang “tidak pernah mengekspresikan diri mereka” kecuali mereka diberikan kesempatan untuk menyuarakan pikiran mereka melalui seseorang yang dating untuk menyelamatkan mereka—adalah yang dihimbau terus menerus untuk mengartikan dunia nyata. Mereka adalah acuan mendasar dari sosial, maka cukup untuk menodongkan kamera pada mereka untuk memperlihatkan kemiskinan (terindustrialisasi) mereka, atau untuk menyediakan konteks dan membungkus gaya hidup mereka yang asing bagi penonton umum yang membeli dan berderma “di belakang sini”, untuk memasuki dunia suci yang secara moral benar, atau dunia sosial. Dengan kata lain, ketika yang disebut dengan “sosial” berkuasa, bagaimana orang-orang ini (/kami) dapat tampak di media, bagaimana makna disematkan pada hidup mereka (/kami), bagaimana kebenaran mereka (/kita) ditafsirkan atau bagaimana kebenaran disusun bagi mereka (/kita) dan meskipun mereka (/kita), bagaimana representasi terkait dengan atau adalah ideologi, bagaimana hegemoni media melanjutkan cara kerjanya tanpa henti dengan mudah menjadi bukan sebuah perkara.

Cinéma-vérité tidak pernah ada. Ia sejatinya adalah sebuah dusta, sejak saat sang sutradara campur tangan—atau ia sama sekali bukan sinema.

—Georges Franju

Ketika yang sosial dimaterialisasikan dan disakralkan sebagai sebuah cita-cita transparansi, ketika ia sendiri terkomodifikasi melalui sebuah bentuk pengelolaan yang utuh (pelayanan, kontrol yang lebih baik), celah di antara yang nyata dan yang ter/citra/kan atau antara yang nyata dan yang rasional menyusut ke titik kepalsuan. Maka, untuk mempertanyakan hubungan-hubungan produksi, sebagaimana disebutkan di atas, adalah dengan terus membuka pertanyaan: bagaimana yang nyata (atau cita-cita sosial tentang representasi yang baik) diproduksi? Alih-alih menyediakan jawabannya, berusaha untuk menangkap atau menemukan kebenarannya sebagai sebuah obyek terselubung atau hilang, penting juga untuk tetap bertanya: bagaimana kebenaran disusun? Sanksi realisme adalah bahwa ia tentang realitas dan harus selamanya terusik bukan dengan menjadi ‘cantik’ tetapi dengan menjadi benar.[x]

Para perintis dokumenter awalnya bersikeras bahwa dokumenter bukanlah Berita, melainkan Seni (sebuah “bentuk seni baru dan vital,” sebagaimana dicanangkan oleh Grierson): pada esensinya ia bukanlah informasi (seperti “ratusan film-film ‘industrial’ pasaran atau film-film edukasi-pekerja”); bukan reportase; bukan film berita; tetapi sesuatu yang dekat dengan “perlakuan kreatif atas aktualitas” (definisi Grierson yang terkenal)

Dokumenter dapat menjadi anti-estetika, ketika banyak yang masih menegaskannya selaras dengan pelopor Inggrisnya, tetapi ia diklaim tidak lebih rendah daripada seni, meskipun sebuah seni dalam batas faktualitas. Di sebuah dunia yang tereifikasi, ketika kebenaran secara luas disetarakan dengan fakta, setiap penggunaan kualitas magis, puitis, atau irasional khusus terhadap medium film itu sendiri akan disingkirkan apriori sebagai nonfaktual. Pertanyaannya tidak melulu tentang pemilahan—menjadi sekhayal mungkin—apa yang secara hakiki faktual dari apa yang tidak di dalam sebuah bangunan teknik filmis yang telah ada, karena ia adalah satu kepatuhan dalam hukum naturalisme dalam film. Di dalam kenyataan film-film berformula, hanya teknik sah sajalah yang benar, yang lain secara de facto salah. Walaupun demikian, semuanya tergantung pada derajat invisibilitas dalam penciptaan makna. Maka, merekam dengan kecepatan selain standar 24-frame-per-second (kecepatan yang diperlukan untuk suara lip-sync), sebagai contoh sering kali dikutuk sebagai satu bentuk manipulasi, dengan hal tersebut manipulasi harus menjadi tersembunyi-yang, hanya diterima ketika tidak mudah dirasakan oleh “penonton sebenarnya. Meskipun seluruh pembuatan film adalah sebuah persoalan mengenai manipulasi—baik “kreatif” atau tidak—ia mendukung kaidah yang mutlak memaklumatkan teknik mana yang manipulative dan yang, agaknya, tidak; pertimbangan ini dibuat berdasarkan derajat visibilitas masing-masingnya. Sebuah film dokumenter direkam dengan tiga kamera: 1) kamera dalam arti teknis; 2) alam pikiran si pembuat film; dan 3) pola-pola generik film dokumenter, yang ditemukan pada harapan-harapan film dokumenter yang mengisinya. Untuk alasan ini seseorang tidak bisa dengan sederhana berkata bahwa film dokumenter menggambarkan fakta-fakta. Ia memotret fakta-fakta yang tercerai dan merangkainya ke dalam sebuah rangkaian fakta berkesinambungan berdasarkan tiga skema-skema beragam. Seluruh fakta dan konteks faktual yang tersisa dikeluarkan. Perlakuan naif atas dokumentasi kemudian menyediakan kesempatan langka untuk mereka-reka dongeng. Di dalam dan tentangnya, dokumenter tidak lebih realistik daripada film cerita.[xi]

Realitas lebih menakjubkan, lebih menjengkelkan, secara janggal lebih manipulatif daripada fiksi. Cara memahami hal ini adalah dengan mengenali kenaifan sebuah perkembangan teknologi sinematis yang sangat mendukung akses yang tak termediasi ke realitas. Untuk memahami kemiskinan yang disayangkan Benjamin sebagai “sebuah kebenaran diekspresikan seperti ia dipikirkan” dan untuk memahami mengapa film-film fiksi progresif tertarik dan terus memberikan penghormatan pada teknik-teknik dokumenter. Film-film ini meletakkan “efek dokumenter” untuk unggul, bermain dengan harapan penonton untuk “mereka-reka dongeng”. Dokumenter kemudian dapat dengan mudah menjadi sebuah “gaya”; ia tidak lagi melingkupi sebuah moda produksi atau sebuah sikap terhadap kehidupan, tetapi terbukti hanya sebagai satu unsur estetika (atau anti-estetika), yang sebaik-baiknya, dan tanpa mengakuinya, ia cenderung menjadi demikian setidak-tidaknya ketika dalam batas faktualnya, ia menyusut menjadi sebuah kategori belaka, atau serangkaian teknik-teknik persuasif. Banyak dari teknik ini telah menjadi “alami” bagi Bahasa penyiaran televisi yang “terluputkan”. Sebagai contoh, teknik “testimoni personal” (seorang bintang muncul di layar untuk mengiklankan produk tertentu yang digunakannya); teknik “orang-orang awam” (seorang politisi mengarahkan diri untuk memakan hot dog di muka umum); teknik “massa” (penggunaannya yang menyampaikan pesan “bahwa semua orang melakukannya, kenapa Anda tidak?”); atau teknik “tumpukan kartu” (di mana pengaturan sebuah “survei” menunjukkan bahwa sebuah merek produk tertentu lebih terkenal daripada merek lainnya bagi orang-orang di wilayah tertentu).[xii]

Anda harus menciptakan ulang realitas karena realitas melarikan diri; realitas membantah realitas. Anda awalnya harus menginterpretasikannya, atau menciptakannya ulang….Ketika saya membuat dokumenter, saya tidak mencoba untuk memberikan realisme sebuah aspek realitas….Saya menemukan bahwa estetika sebuah dokumen berasal dari aspek artifisial dokumen tersebut….ia harus lebih indah daripada realisme dan maka ia harus dikarang…untuk memberikannya pengertian lain.[xiii] Sebuah dokumenter yang sadar akan tipu muslihatnya adalah dokumenter yang tetap peka dengan arus antara fakta dan fiksi. Ia tidak bekerja untuk menyembunyikan atau mengecualikan apa yang dinormalisasikan sebagai “non-faktual,” untuk memahami ketergantungan mutual antara realisme dan “artifisialitas” dalam proses pembuatan film. Ia mengenali keharusan untuk mengarang (atas) kehidupan yang menghidupi atau membuatnya. Dokumenter direduksi menjadi sebuah kendaraan fakta-fakta belaka yang dapat digunakan untuk membela sebuah misi, tetapi ia tidak melingkupinya dalam dirinya sendiri; maka pelanggengan sistem dwi pembagian dalam nalar isi-versus-bentuk. Untuk mengarang tidak selalu sama dengan menginstruksikan-untuk-meyakinkan, dan untuk memberikan pengertian lain pada dokumen yang difilmkan, pengertian lain, tidak harus mendistorsikannya. Jika paradoks dan kompleksitas kehidupan tidak akan ditekan, pertanyaan mengenai derajat dan nuansa menjadi terus-menerus penting. Makna kemudian hanya dapat menjadi politis ketika ia tidak membiarkan dirinya dengan mudah termapankan, dan ketika ia tidak bergantung pada sumber tunggal otoritas, tetapi, lebih, mengosongkan atau mendesentralisasikannya. Maka, bahkan ketika sumber ini menjadi acuan, ia tegak sebagai satu di antara yang lainnya, plural dan sepenuhnya tunggal secara bersamaan. Dalam desakannya untuk memaknai dalam keadaan apapun, “dokumenter” seringkali melupakan bagaimana ia hadir dan bagaimana estetika dan politik tetap tak terpisahkan dalam tubuhnya. Agar, ketika tidak disetarakan dengan sekadar teknik mempercantik, estetika memperkenankan seseorang untuk mengalami hidup secara beda, atau beberapa orang akan berkata, untuk memberikan “pengertian lain,” tetap selaras dengan pasang surutnya.

Dari deskripsinya ke penyusunan dan penyusunan kembali, realitas yang bergerak dapat ditinggikan atau direndahkan namun ia tidak pernah netral (obyektif). Dokumenter dalam pengertian paling murni dan puitisnya adalah sebuah bentuk di mana unsur-unsur yang anda gunakan adalah unsur aktual.[xiv] Gagasan mengenai “membuatnya janggal” atau berkaitan dengan refleksifitas tetap ada namun hanya sekedar alat pembuat jarak sepanjang pembagian antara “tipu daya tekstual” dan “sikap sosial” menjalankan kekuatannya.[xv] Yang “sosial” tetap tak tertandingi, sejarah tetap terus terselamatkan, sepanjang kedaulatan subyek yang sosio-historis dengan aman terjaga. Dengan terjaganya status quo subyek yang membuat/mengkonsumsi, tujuannya adalah untuk mengkoreksi “kesalahan” (kekeliruan) dan untuk membangun sebuah pandangan alternatif (ditawarkan sebagai sebuah versi realitas ini-yang-benar atau punya saya-yang-lebih benar). Dengan kata lain, untuk menggantikan satu sumber otoritas yang tidak terakui dengan yang lainnya, tetapi tidak untuk menandingi bangunan otoritas itu sendiri. Teks sosio-historis yang baru kemudian mengatur dengan sewenang-wenangnya sebagai teks lainnya yang berpusat pada sang tuan, karena ia dengan tidak sengaja membantu pelanggengan sikap ideologis sang tuan.

Ketika yang tekstual dan yang politis tidak terpisah satu sama lain atau secara sederhana menyatu sebagai sebuah penentu tunggal, praktik representasi, demikian pula tidak dapat diasumsikan atau sekadar dibiarkan semata-mata reaksioner secara ideologis. Dengan memeriksa representasi, teori/praktik tekstual agaknya telah membantu mengguncang ideologi yang mengakar dengan mengungkap mekanisme cara kerja intinya. Ia memungkinkan pembedaan penting antara kritisisme otoritatif dan analisa dan penyelidikan absolut (termasuk aktivitas menganalisa dan menyelidiki itu sendiri). Terlebih, ia berkontribusi untuk mempertanyakan pendekatan-pendekatan reformis “alternatif” yang tidak pernah angkat kaki dari silsilah humanisme kulit putih dan laki-laki sebagai pusat. Terlepas dari komitmen eksplisit sosio-politisnya, pada akhirnya pendekatan ini tetap terlindungi, yang, “dibingkai,” dan kemudian tidak cukup sosial atau politis.

Realitas melarikan diri, realitas menyangkal realitas. Pembuatan film pada dasarnya adalah pertanyaan mengenai “pembingkaian” realitas pada jalurnya. Walaupun demikian, ia dapat menjadi tempat utama di mana fungsi referensial film gambar/bunyi tidak dengan mudah dinegasikan, tetapi direfleksikan pada prinsip-prinsip operatifnya dan dipertanyakan dalam identifikasi otoritatfinya dengan dunia fenomenal. Dalam usaha menekan mediasi aparatus sinematik dan kenyataan bahwa bahasa “mengkomunikasikan dirinya melalui dirinya sendiri,” selalu mengintai konsepsi bahasa borjuis. Tiap strategi revolusioner harus menantang gambaran realitas….sehingga celah di antara ideologi dan teks dapat berlaku.[xvi]

Menyangkal realitas film dalam mengklaim (menangkap) realitas adalah untuk tetap berada “di dalam ideologi”—untuk menyerahkan kekacauan (sadar atau tidak) filmis dengan realitas fenomenal. Dengan mengutuk swa-refleksifitas sebagai formalisme murni daripada menantang realisasi beragamnya, ideologi ini dapat “terluputkan,” menjaga operasinya tetap tertutup dan melayani tujuan ekspansionisme universal. Keengganan serupa melawan refleksifitas berjalan bersamaan dengan apropriasi yang tersebar luas sebagai sebuah alat progresif, formalistik di dalam sinenma, karena ia bekerja untuk mengurangi fungsinya menjadi fungsi dekoratif yang tidak berbahaya. (Sebagai contoh, ia telah menjadi lazim untuk mendengar pernyataan “sebuah film adalah film” atau “ia adalah film tentang film.” Menjadi sulit untuk bekerja dengan pernyataan film-tentang-film karena ia dapat terpengaruh oleh formula dan tekniknya sendiri). Terlebih refleksifitas seringkali disetarakan dengan perspektif personal, yang pada kesempatan lain diamini sebagai kekakuan saintifik.

Dua lelaki sedang membahas kerjasama pembuatan anggur. Salah seorang dari mereka berkata kepada lelaki lainnya: “Anda akan menyediakan beras dan saya menyediakan air.” Lelaki lain bertanya: “Jika seluruh beras dari saya, bagaimana kita akan membagi hasil akhirnya?” Lelaki pertama membalas: “Saya akan adil dengan seluruhnya. Ketika anggur tersebut selesai, masing-masing dari mereka mengambil kembali apa yang mereka taruh—Saya akan mengambil cairannya dan Anda dapat menyimpan sisanya.”

Kebijaksanaan dan Lelucon dari Cina kuno

Salah satu wilayah dokumenter yang tetap resistan terhadap realitas film-sebagai-film dikenal dengan pembuatan film antropologis. Material etnografis yang difilmkan, yang telah lama dibayangkan untuk “mereplika persepsi natural,” menyangkal hanya berniat untuk menyediakan “data” yang tepat dalam “mengambil contoh” kebudayaan. Klaim akan obyektifitas bisa jadi tidak lagi berada di lingkaran-lingkaran antropologis, tetapi otoritasnya yang agaknya digantikan oleh gagasan suci tentang “saintifik”. Perekaman dan pengambilan data dan testimoni orang-orang kemudian dianggap menjadi tujuan “film etnografis” yang terbatas.” Apa yang menjadikan sebuah film antropologis dan apa yang menjadikannya saintifik, secara tautologis, adalah “ikhtiar keilmuannya untuk mendokumentasikan dan menginterpretasinya satu demi satu berdasarkan standar-standar antropologis.”[xvii] Tidak hanya sekedar etnografis atau dokumenter, sebagaimana definisi ini merincinya, tetapi “secara keilmuan” dan antropologis, sebuah obsesi saintifik mendasar hadir di setiap usaha untuk memberi batas teritori Antropologi. Untuk menjadi sah secara saintifik, sebuah film membutuhkan intervensi saintifik para Antropolog, dengan melekatkan bangunan tradisi yang disusun oleh komunitas Antropolog diakreditasi oleh “disiplin” mereka bahwa film dapat berkeinginan untuk memenuhi syarat klasifikasi dan diteruskan sebagai sebuah “ikhtiar keilmuan.”

Salah satu argumen yang akrab diberikan oleh para Antropolog untuk mengesahkan penggunaan instrumental film dan orang-orang secara preskriptif adalah untuk melepaskan seluruh karya-karya pembuat film yang “bukan Antropolog professional,” mereka kemudian tidak “memiliki keutamaan teoritis dari sebuah cara pandang antropologis.” Untuk memajukan nalar gamblang promosi diri sendiri demikian untuk mendirikan “sebuah bentuk reguler pembuatan film yang mematikan” (untuk mengutip sebuah kalimat dari Marcorelles sekali lagi) juga adalah—melalui tugas utama Antropologi dalam “mengumpulkan data” bagi pengetahuan umat manusia—untuk mencoba menghindar dari apa yang dikenal dengan “paradigma penyelamatan” dan isu yang terimplikasikan dalam persebaran saintifik atas kepemilikan dunia Barat.[xviii] Semakin besar rasa ketidakamanan Antropologi akan proyeknya sendiri, semakin besar hasratnya untuk bertahan dengan sebuah model normatif, dan semakin jelas kodrat sunyinya untuk berada dalam lapangan dangkalnya sendiri.

Dalam lanskap suci Antropologi, seluruh bentuk pembuatan film direduksi pada sebuah pertanyaan mengenai metode. Ia didemonstrasikan dengan alasan bahwa film-film antropologis bergerak lebih jauh daripada film-film etnografis karena mereka tidak hanya memperlihatkan aktifitas yang dilakukan, tetapi juga menjelaskan “makna antropologis” dari aktifitas-aktifitas tersebut (makna yang, meskipun penentu disiplinnya bersifat antropologis, ia diidentifikasi secara de facto melalui makna yang diberikan pribumi sendiri padanya). Kini, jelas, dalam proses membenahi makna, tidak setiap penjelasan adalah sah. Tempat di mana Antropolog ahli memainkan perannya dan di mana metodologi perlu diciptakan, dilegitimasi dan ditanamkan. Jika penjelasan non-profesional di sini dilepaskan, ia tak berarti karena ia lemah dalam landasan wawasan atau teoritis, karena ia lolos dari kendali antropologis.

Atas nama sains, sebuah pembedaan yang dibuat antara infomasi yang reliabel dan tidak reliabel. Penjelasan antropologis dan non-antropologis dapat berbagi pokok permasalahan yang sama, tetapi mereka berbeda dalam cara menciptakan makna. Bangunan yang tidak reliabel adalah yang tidak mematuhi aturan otoritas antropologis, di mana ahli terkait seperti Evans-Pritchard dengan lihai menentukannya menjadi tidak ada lagi selain “sebuah kebiasaan saintifik dari akal”[xix] Sains didefinisikan sebagai pendekatan paling tepat bagi obyek investigasi yang berlaku sebagai sebuah panji bagi setiap upaya saintifik untuk mendorong peran paternalistik barat sebagai subyek atas pengetahuan dan historisitasnya yang Sama. Barat sepakat dengan kita hari ini bahwa jalan menuju Kebenaran menyinggahi jalur yang banyak, selain logika Thomisme Aristotelian atau dialektika Hegelian. Tetapi ilmu sosial dan manusia sendiri harus didekolonisasi.[xx]

Dalam “pencarian saintifiknya untuk menciptakan makna,” Antropologi terus menerus menghidupkan kembali relasi kuasa yang tertanam di dalam wacana berani sang Tuan mengenai Dirinya dan yang Liyan Miliknya, dengan cara demikian membantu gerak sentripetal dan sentrifugal atas persebaran global mereka. Dengan tantangan berbeda yang muncul hari ini bagi proses penciptaan interpretasi budaya, termasuk untuk memungkinkan pengetahuan antropologis, anggota-anggota komunitasnya yang berorientasi visual membawa posisi epistemologis di mana gagasan tentang refleksifitas biasanya direduksi ke dalam pertanyaan teknik dan metode. Disetarakan dengan sebuah bentuk kesamaan pamer diri di dalam kerja lapangan, ia seringkali dibahas sebagai reflektifitas diri dan pada kesempatan yang lain dikutuk sebagai idealisme individualistik yang sangat butuh dikendalikan jika bayang-bayang si pembuat tidak akan lebih besar daripada komunitas saintifik atau orang-orang yang diamati. Maka, “menjadi refleksif nyaris identik dengan menjadi saintifik.”[xxi] Banyak alasan yang membenarkan pernyataan demikian, tetapi satu hal yang bisa dibaca melalui hal tersebut dan meskipun demikian: sepanjang si pembuat mematuhi serangkaian teknik “refleksif” dalam pembuatan film yang dibuat dengan tujuan menyingkap “konteks” produksinya dan sepanjang teknik wajib secara metod(olog)is dilakukan, si pembuat dapat dijamin bahwa “refleksifitas” dinaikkan pada status ketelitian saintifik. Teknik refleksif ini mengikutsertakan sisipan narasi verbal atau visual mengenai sang Antropolog, metodologi yang dipakai, dan kondisi produksinya—dengan kata lain seluruh alat untuk memvalidasi sebuah teks antropologis melalui praktik disipliner dari pencatatan kaki dan kepala dan gagasan totalistik mengenai pemaparan pra-produksi. Mereka yang menolak nalar tersebut juga berada di luar sebuah pra-huni bersama “komunitas ilmuwan,” di mana pertimbangan kolektif yang mereka rasakan harus menjadi satu-satunya bentuk refleksi. Pengesahan individual atas sebuah karya dapat menjadi mencurigakan karena ia “mengabaikan perkembangan historis dari sains”. Dalam usaha terus menerus dalam menanamkan Antropologi sebagai (sebuah) disiplin dan dalam memusatkan kembali representasi budaya (terlepas dari seluruh perubahan dalam metodologi), apa yang terlihat secara janggal tertindas dalam gagasan refleksifitas pembuatan film adalah praktiknya sebagai proses-proses untuk mencegah makna berakhir dengan apa yang dikatakan dan apa yang diperlihatkan dan—melalui penyelidikan dalam relasi produksi—untuk menantang representasi itu sendiri bahkan ketika menekankan realitas pengalaman film itu sendiri dan peran penting bahwa realitas bermain di dalam kehidupan para penonton.

Citra tidak memperoleh makna, kecuali ia berpindah tempat dari keadaan alaminya. Perpindahan menghasilkan pantulan.

—Shanta Gokhale[xxii]

Sebuah selubung estetik atau sebuah manuver relativisasi dalam prosesnya bagaimanapun memutlakkan makna, refleksifitas secara kritis membuktikan in/signifikansi saat ia sekedar mengamini pemurnian dan perluasan akumulasi pengetahuan. Tidak ada gerak yang melampaui, tidak di tempat lain-di dalam-sini yang mungkin jika refleksi mengenai seseorang bukanlah satu-satunya dan sekaligus menjadi analisa atas bentuk mapan dari sosial yang memaknai batas-batas seseorang. Untuk membawa diri ke dalam jurang kemudian bukanlah sebuah kesempitan moralistik terhadap seseorang atau sebuah tugas dari kritik yang memanusiakan diri yang dapat terbahasakan tetapi tidak pernah menandingi gagasan diri dan decoder. Utuh dalam positionalitas dan desakan mendasarnya untuk menetapkan makna, diri dibayangkan sebagai kunci dan sebagai mediator transparan, agaknya mengubah tanggung jawab menjadi ijin. Ijin untuk menamai, seolah-seolah makna yang hadir diurai tanpa mediasi ideologis apapun. Seolah-olah menentukan sebuah konteks hanya dapat berhasil melalui penuntasan apa yang terlihat dan yang dikatakan. Seolah-olah menamai dapat memberhentikan proses penamaan: jurang sebenarnya dari hubungan diri dengan diri.

Menjadikan diri relevan, melampaui perhatian terhadap kekeliruan manusia, ia tidak bisa tetapi juga melibatkan problem hakiki di dalam representasi dan komunikasi. Secara radikal jamak dalam cakupannya, refleksifitas kemudian bukan sekedar pertanyaan dalam mengoreksi dan membenarkan (subyektifikasi). Apa yang dioperasikan dalam praksisnya adalah hubungan-hubungan yang swa-wujud di antara bentuk-bentuk berbeda dari refleksifitas. Seseorang kemudian menunjuk dirinya sebagai subyek-dalam-proses, sebuah karya yang memperlihatkan sifat-sifat formalnya atau kondisi mendasarnya sebagai karya, terbatas untuk mengacaukan makna identitas seseorang—pembedaan yang tidak asing antara si Sama dan si Liyan karena si Liyan tidak lagi terjaga dalam sebuah hubungan dependensi, derivasi, atau apropriasi yang dapat dikenali. Proses bangunan dasar-diri juga adalah di mana diri bimbang dan kehilangan kepastian. Paradoks atas proses tersebut berada pada instabilitas mendasarnya; sebuah instabilitas yang menciptakan kesemrawutan hakiki dalam setiap tatanan. “Inti” dari representasi adalah jarak refleksif. Ia adalah tempat di mana permainan di dalam bingkai tekstual adalah permainan mengenai bingkai itu sendiri, dengan demikian mengenai garis-garis batas tentang tektual dan ekstra-tekstual, di mana sebuah posisi di dalamnya terus menerus terkena resiko atas de-posisi, dan di mana karya, tidak pernah terlepas dari konteks historis dan sosio-politisnya atau tidak sepenuhnya tunduk pada konteks tersebut, hanya dapat menjadi dirinya ketika tetap mempertaruhkan dirinya menjadi nihil.

Sebuah karya yang berefleksi akan dirinya menawarkan dirinya tanpa batas sebagai karya …dan kehampaan. Tatapannya adalah sekaligus impuls yang menyebabkan karya tersebut runtuh (untuk kembali ke ketiada-kekarya-an awal) dan sebuah hadiah utama bagi bangunan dirinya. Sebuah hadiah, di mana karya tersebut terbebas dari tirani makna dan dari sifat maha ada sebuah pokok makna. Untuk terlepas dari cengkraman setiap saat ketika ia hadir dalam keadaan paling efektifnya adalah untuk membiarkan karya tersebut hidup dan hidup secara mandiri dari hubungan-hubungan yang dimaksudkan, mengkomunikasikan dirinya melalui dirinya, seperti istilah Benjamin “diri adalah sebuah teks”—tidak lebih dan tidak kurang dari “sebuah proyek yang akan dibangun.”[xxiii] Tatapan Orpheus … adalah impuls hasrat yang memecahkan nyanyian takdir dan kepedulian, dan di mana keputusan yang terinspirasi dan diabaikan mencapai asal-usulnya, mentasbihkan nyanyian tersebut.[xxiv]

Makna tidak dapat dibebankan atau disangkal. Meskipun setiap film dalam wujudnya sendiri adalah sebuah bentuk tatanan dan kuncian, setiap selubung dapat menantang selubungnya sendiri, membuka selubung-selubung lainnya, yang menekankan jarak antara lubang dan menciptakan sebuah ruang di mana makna tetap terpesona oleh apa yang lolos dan apa yang melampauinya. Keharusan untuk membiarkan gagasan mengenai intentionalitas yang mendominasi pertanyaan mengenai yang “sosial” dan tentang kreatifitas maka tidak dapat dikacaukan dengan cita-cita non-intervensi, sebuah cita-cita yang berhubungan dengan si pembuat film, mencoba untuk menjadi segaib mungkin dalam proses penciptaan makna, mendorong subyektifitas empatik yang dibayar oleh penyelidikan kritis bahkan ketika niatnya adalah untuk memperlihatkan dan mengutuk penindasan. Ia adalah mistifikasi idealis untuk mempercayai bahwa ‘kebenaran’ dapat ditangkap oleh kamera atau bahwa kondisi produksi sebuah film (contoh, sebuah film yang dibuat secara kolektif oleh perempuan), dengan sendirinya dapat merefleksikan kondisi produksinya. Ini adalah utopianisme belaka: makna baru harus diproduksi di dalam teks film itu sendiri … Apa yang kamera raih pada dasarnya adalah dunia ‘natural’ dari ideologi dominan.[xxv]

Dalam pencarian makna yang total dan demi pengetahuan-untuk-sekedar pengetahuan, makna yang lebih buruk adalah ketiadaan makna. Seorang biarawati misionaris kulit putih menetap di sebuah desa terbelakang di Afrika memantaskan dirinya dalam istilah sederhana dan mantap: “Kami di sini untuk menolong orang-orang memberikan makna bagi hidup mereka.” Kepemilikan dengan jemu membulat dalam tuntutan memberi-dan-mengambil. Ia adalah sebuah pandangan tunggal atas dunia irasional yang mengekspresikan dirinya dalam keharusan memberi dan memberi makna, dan imajiner yang menjelmakan dirinya dalam keharusan syarat bangunan visual dan verbal untuk menghasilkan makna dengan rincian penuh. Dunia barat memenuhi segalanya dengan makna, layaknya sebuah agama otoritarian yang membebankan baptisme pada seluruh umat manusia.[xxvi] Meskipun demikian, ilusi tersebut nyata: ia memiliki realitasnya sendiri, salah satunya di mana subyek Pengetahuan, subyek Penglihatan, atau subyek Makna terus menyebarkan relasi kuasa yang mapan, mengamsusikan diriNya menjadi sumber acuan dasar dalam pencarian total akan acuan, acuan sejati yang berada di alam luar sana, di dalam kegelapan, menunggu dengan sabar untuk diungkap dan diurai dengan tepat. Untuk ditebus dosanya. Lalu mungkin, sebuah imajinasi yang bergerak menuju tekstur realitas adalah satu cara yang mungkin untuk mempertanyakan ilusi dan kuasa yang ia operasikan. Penciptaan satu ilusi atas yang lainnya dan permainan jargon (yang tidak hanya sekedar tanpa arti) di atas makna kemudian dapat membantu melegakan acuan dasar atas pendudukannya, yang bagi penyelidikan kritis hari ini tentu tidak yang menyerang ilusi realitas sebagai yang memindahkan dan mengosongkan kemapanan atas realitas.


[i] Lindsay Anderson, dikutip dalam G. Roy Levin, Documentary Explorations: Fifteen Interviews with Filmmakers, Garden City, New York, Doubleday, 1971, hal. 66.

[ii] Walter Benjamin, One Way Street, London, Verso, 1979, hal. 109.

[iii]  John Grierson, dalam Forsyth Hardy, ed., Grierson On Documentary, New York, Praeger, 1971, hal. 146-147.

[iv] Hans Richter, “Film as an Original Art Form,” dalam R. Dyer MacCann, ed., Film: A Montage of Theories, New York, Dutton, 1966, hal. 183.

[v] Louis Morcorelles, Living Cinema: New Directions in Contemporary Film-Making, terjem. I. Quigly, New York, Praeger, 1973, hal. 37.

[vi] Jean Rouch, dikutip dalam Documentary Explorations, hal. 135.

[vii] William Stott, Documentary Expression and Thirties America, New York, Oxford university Press, 1976, hal. 73.

[viii] Dikutip dalam Living Cinema, hal. 26.

[ix] Ernesto Laclau, dikutip dalam “Building a New Left: An Interview with Ernest Laclau,” Strategies, no. 1 (Fall 1988), hal. 15.

[x] Grierson, Grierson on Documentary, hal. 249.

[xi] Alexander Kluge, dikutip dalam Alexander Kluge, A Retrospective, New York, The Goethe Institutes of North America, 1988, hal. 4.

[xii] John Mercer, An Introduction to Cinematography, Champaign, Illinois, Stipes Publishing Co., 1968, hal. 159.

[xiii] Georges Franju, dikutip dalam Documentary Explorations, hal. 121, 128.

[xiv] Lindsay Anderson, dikutip dalam Ibid., hal. 66.

[xv] Pembedaan ini menyokong argument Dana Polan dalam, “A Brechtian Cinema? Towards a Politics of Self-Reflexive Film, “dalam B. Nichols, ed., Movies and Methods, vol. 2, Los Angeles, University of California Press, 1985, hal. 661-672.

[xvi] Claire Johnston, “Women’s Cinema as Counter-Cinema,” dalam Movies and Methods, vol. 1, 1976, hal. 215.

[xvii] Henk Ketelaar, “Methodology in Anthropological Filmmaking. A Filmmaking Anthropologist’s Poltergeist? Dalam N. Bogaart dan Henk Ketelaar, eds., Methodology in Anthropological Filmmaking, Gottingen, Herodot, 1983, hal. 182.

[xviii] Lihat James Clifford, “Of Other Peoples: Beyond the ‘Salvage Paradigm,’” dalam Hal Foster, ed., Discussions in Contemporary Culture, Seattle, Washington, Bay Press, 1987, hal. 121-130.

[xix] E. E. Evans-Pritchard, Theories of Primitive Religion, Oxford, Clarendon Press, 1980.

[xx] E. Mveng, “Récents Développements de la théologie africainé,” Bulletin of African Theology, vol. 5, hal. 9; dikutip dalam V.Y. Mudimbe, The Invention of Africa: Gnosis, Philosophy and the Order of Knowledge, Bloomington, Indiana University Press, 1988, hal. 37.

[xxi] Jay Ruby, “Exposing Yourself: Reflexivity, Antropology and Film,” Semiotica, no. 30 (1980), hal. 165.

[xxii] Shanta Gokhale, dikutip dalam Uma da Cunha, ed., The New Generation, 1960-1980, New Delhi, The Directorate of Film Festivals, 1981, hal. 114.

[xxiii] Benjamin, One Way Street, hal. 14.

[xxiv] Maurice Blanchot, dalam P. Adams Sitney, ed., The Gaze of Orpheus and Other Literary Essays, terjem. L. Davis, Tarrytown, New York, Station Hill Press, 1981, hal. 104.

[xxv] Johnston, “Women’s Cinema as Counter Cinema,” hal. 214.

[xxvi] Roland Barthes, Empire of Signs, terjem. Richard Howard, New York, Hill & Wang, 1982, hal. 70.

Dialihbahasakan oleh Fiky Daulay dari teks asli oleh Trinh T. Minh-Ha. berjudul ‘Documentary Is/Not a Name’.

Leave a Comment