Walter Benjamin: Tentang Konsep Sejarah

I

Suatu hari, seperti kita tahu, satu automaton dibuat dengan sedemikian rupa hingga ia dapat merespon setiap langkah yang diambil oleh seorang pemain catur dengan gerak tandingan yang menjamin dimenangkannya permainan tersebut. Satu boneka yang mengenakan kostum khas Turki dengan pipa uap air di mulutnya duduk berhadapan dengan satu papan catur yang diletakkan di atas satu meja besar. Melalui satu sistem cermin muncul kesan bahwa meja ini transparan dari segala sisi. Sebenarnya, seorang katai bongkok yang juga master catur duduk di dalamnya dan menggerakan tangan boneka tersebut dengan benang. Orang dapat membayangkan salinan filosofis  aparatus ini. Boneka, bernama “materialisme historis“ ini, dibuat untuk menang setiap saat. Dengan mudah ia mengalahkan siapapun selama ia menyertakan teologi dalam pelayanannya, yang kini, sebagaimana kita tahu, tampak kecil dan jelek, dan harus dijauhkan dari pandangan.

II

“Salah satu keunikan paling luar biasa dari sifat manusia“ tulis Lotze, “adalah bawah bersamaan dengan begitu banyaknya pencarian diri dalam individu, pada umumnya masa kini tampak terbebas dari kecemburuan pada masa depan.“ Amatan ini menengarai bahwa citra kebahagiaan yang kita agungkan sangat diwarnai oleh waktu yang telah digariskan oleh alur eksistensi kita sendiri. Jenis kebahagiaan yang dapat menimbulkan kecemburuan dalam diri kita hanya hadir dalam udara yang kita hirup, di antara orang-orang yang kita ajak bicara, perempuan-perempuan yang bisa menyerahkan diri mereka pada kita. Dengan kata lain, citra kebahagiaan terus menerus terkait dengan citra penebusan. Hal yang sama juga berlaku pada gagasan masa lalu, yang menjadi perhatian sejarah. Masa lalu mengandung indeks temporal yang menjadi rujukan dalam penebusan. Tidakkah kita menghirup udara yang sama dengan mereka yang ada sebelum kita? Bukankah ada gema dari mereka yang telah dibungkam dalam suara-suara yang kita dengarkan sekarang? Bukankah perempuan-perempuan yang kita dekati punya saudari-saudari yang tidak mereka kenali lagi?  Jika demikian maka ada kesepakatan rahasia antara generasi masa lalu dan masa kini. Maka kedatangan kita sudah sudah dinantikan di atas bumi ini. Maka seperti juga yang terjadi dengan generasi pendahulu, kita diberkati dengan kekuatan Mesianis yang lemah, kekuatan yang menjadi klaim masa lalu.  Klaim ini tidak bisa dituntaskan dengan mudah. Pelaku materialisme historis paham akan ini.

III

Si pencatat, yang merekam peristiwa tanpa membedakan yang mana yang penting dan tidak, bekerja seturut dengan kebenaran berikut ini: bahwa tak satu pun yang pernah terjadi dianggap kalah oleh sejarah. Sudah barang tentu hanya kemanusiaan yang sudah ditebus yang dapat diterima sepenuhnya sebagai masa lalu. Dengan kata lain: hanya kemanusiaan yang sudah ditebuslah yang masa lalunya dapat dikutip di setiap momen. Setiap momen yang dihidupnya menjadi citation a I’ordre du jour [i].  Dan hari tersebut adalah Hari Kiamat.

IV

Carilah dahulu makanan dan pakaian,

maka kerajaan Tuhan akan datang padamu

—Hegel, 1807

Perjuangan kelas, yang selalu tampak nyata bagi sejarawan yang dipengaruhi oleh Marx, adalah pertarungan demi hal-hal kasar dan materi yang tanpanya maka apa yang halus dan spiritual tak akan ada. Tapi bukanlah pampasan yang jatuh ke tangan si pemenang yang membuat hal-hal terakhir ini hadir dalam perjuangan kelas. Mereka hidup dalam perjuangan ini sebagai kepercayaan, keberanian, humor, kecerdikan dan ketabahan dan dampaknya jauh menjangkau ke masa lalu. Mereka selalu mempertanyakan semua kemenangan para penguasa, di masa lalu dan masa kini. Bak bunga yang selalu berkembang mengikuti matahari,  demikian pula ia yang berpaling, berkat rahasia heliotropisme, ke arah matahari di langit sejarah. Seorang sejarawan materialisme harus waspada dengan bentuk paling tak kentara dari semua transformasi ini

V

Citra sejati masa lalu berdesingan. Masa lalu hanya bisa ditangkap sebagai citra yang berdenyar pada momen ketika ia dapat dikenali dan kemudian tak pernah terlihat lagi. “Kebenaran tak akan lari ke mana”: pernyataan Gottfried Keller ini merujuk persis pada lokasi di mana materialisme sejarah memotong gambaran sejarah yang diproyeksikan historisisme. Karena citra masa lalu yang tak akan dihadirkan kembalilah yang mengancam untuk menghilang di setiap masa kini yang tidak mengenali dirinya sendiri sebagaimana yang diniatkan dalam citra tersebut.

VI

Mengartikulasikan masa lalu secara historis tidak sama artinya dengan mengenalinya “sebagaimana dulunya“. Ini berarti menguasai memori seketika ia berkilas dalam momen-momen bahaya.  Materialisme sejarah hendak mempertahankan gambar masa lalu yang tiba-tiba dihadapkan pada subyek sejarah dalam momen bahaya. Bahaya ini mengancam baik konten tradisi maupun mereka yang mewarisinya. Karena keduanya adalah satu hal yang sama: bahaya menjadi alat bagi kelas penguasa. Setiap zaman harus memperbaharui upayanya dalam merenggut tradisi dari konformisme yang hendak mengalahkannya. Sang Mesias bukan hanya datang sebagai si penebus; dia menjadi penakluk si Antikristus. Hanya sejarawan yang mampu mengipas percik harapan masa lalu lah yang bisa dengan teguh meyakini: bahwa orang mati pun tidak akan selamat dari sang musuh jika ia menang. Dan musuh ini terus menerus menang.

VII

Pikirkan tentang kegelapan dan dingin yang hebat

Dalam lembah ini, yang mengalun dengan kesengsaraan

-Brecht, The Threepenny Opera

Kepada sejarawan yang ingin menghidupkan kembali satu zaman, Fustel de Coulanges menyarankan agar ia menyingkirkan semua alur sejarah yang terjadi setelahnya dari benaknya. Tidak ada cara yang lebih baik dalam mencirikan metode yang telah dipatahkan materialisme sejarah. Ia merupakan proses empati yang berasal dari kelambanan hati, acedia, yang berduka karena hanya dapat menyentuh dan merengkuh  citra sejarah tulen dalam kilasnya yang singkat. Di kalangan teologis Abad Pertengahan, acedia dikenal sebagai akar penyebab kesedihan. Flaubert, yang mengenalnya, menulis: “Peu de gens devineront combien il a fallu etre triste pour ressusciter Carthage!”[ii] Hakikat kesedihan ini akan menjadi lebih jelas lagi, jika kita bertanya: Pada siapa sesungguhnya historisisme berempati? Jawabannya tak pelak lagi: si Pemenang. Akan tetapi semua penguasa adalah pewaris dari penakluk yang mendahului mereka. Dengan demikian empati kepada pemenang memberi manfaat pada mereka yang sedang berkuasa. Pelaku materialisme sejarah memahami maknanya. Siapapun yang menjadi pemenang ikut dalam prosesi kemenangan yang ditempuh para penguasa masa kini seraya mereka menggilas mereka yang tergeletak kalah. Seperti biasanya, pampasannya diarak dalam prosesi kemenangan. Mereka disebut sebagai pusaka budaya dan sejarawan materialis memandangnya dengan jarak yang hati-hati. Karena tanpa kecuali pusaka-pusaka ini punya garis turun temurun yang tidak bisa disaksikannya tanpa rasa takut. Mereka ada bukan hanya karena upaya  para jenius besar yang menciptakannya, namun juga upaya para tanpa nama yang hidup di zaman itu. Tidak ada satupun dokumen budaya yang bebas dari barbarisme, maka barbarisme juga yang menodai cara di mana ia disebarkan dari tangan ke tangan. Oleh sebab itu sejarawan materialis sebisa mungkin menjauh dari proses penyebaran ini. Ia menganggap bahwa sudah tugasnyalah untuk melacak sejarah di luar kebiasaan.

VIII

Tradisi  mereka yang direpresi mengajarkan kepada kita bahwa “keadaan gawat darurat“ di mana kita hidup bukan lah satu perkecualian, ia  adalah norma. Kita harus mencapai konsepsi historis yang sesuai dengan wawasan ini. Lantas kita akan dengan jelas melihat bahwa sudah merupakan tugas kita untuk mewujudkan keadaan gawat darurat yang nyata, dan ini akan memperbaiki posisi kita dalam perjuangan melawan fasisme. Satu alasan mengapa fasisme punya peluang adalah karena atas nama kemajuan para lawannya memperlakukannya sebagai norma historis. Keheranan kita kini bahwa hal-hal yang kita alami sekarang “masih” mungkin terjadi di abad keduapuluh bukanlah sesuatu yang sifatnya filosofis. Keheranan ini bukanlah awal pengetahuan- kecuali ia adalah pengetahuan bahwa pandangan sejarah yang melahirkannya tidak dapat dipertahankan.

IX

Sayapku siap terbang

Aku ingin kembali

Jika ku tetap tinggal di waktu fana

Ku tidak akan begitu beruntung

.
—Gerhard Scholem, “Gruss vom Angelus“

Ada satu lukisan Paul Klee yang berjudul Angelus Novus. Lukisan ini menggambarkan satu malaikat yang tampak hendak meninggalkan sesuatu yang tengah ia tatap. Matanya terbelalak, mulut terbuka, dan sayapnya terbentang. Beginilah citra yang dibayangkan tentang malaikat sejarah.Wajahnya menghadap ke masa lalu. Di mana kita melihat serentetan peristiwa, ia melihat satu bencana tunggal yang terus menumpuk reruntuhan dan menghempaskannya ke kakinya. Si malaikat  ingin tetap tinggal, membangkitkan yang mati, dan menyatukan apa yang telah dipecahkan. Tapi ada badai yang bertiup dari Surga dan menjerat sayapnya, begitu kuat sehingga ia tak lagi bisa menutup keduanya. Badai ini tak pelak lagi melontarkannya ke masa depan yang ia belakangi, sementara tumpukan reruntuhan di hadapannya menjulang ke langit. Badai ini yang kita sebut kemajuan.

X

Tema-tema yang dibebankan disiplin monastik pada para rahib dalam bermeditasi dirancang untuk memalingkan mereka dari dunia dan urusannya. Pikiran yang kami kembangkan di sini juga berasal dari sasaran serupa.  Pada saat politisi yang menjadi tumpuan harapan musuh fasisme tergeletak, dan mengakui kekalahan mereka dengan mengkhianati cita-cita mereka sendiri, amatan ini diniatkan untuk menguraikan benang-benang para pengkhianat yang telah menjerat para warga dunia politik. Asumsinya di sini adalah bahwa keyakinan keras kepala para politisi pada kemajuan, kepercayaan mereka pada “basis massa“ mereka“, dan akhirnya, integrasi pasrah mereka pada aparatus yang tak terkontrol adalah tiga aspek dari satu hal yang sama. Pertimbangan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana mahalnya biaya yang harus dibayar moda pikir yang sudah menjadi kebiasaan untuk sebuah pemahaman sejarah yang menghindar jauh-jauh dari konsep sejarah yang dianut para politisi itu.

XI

Konformisme yang menandai Sosial Demokrasi sejak awalnya bukan hanya melekat pada taktik politik namun juga pada pandangan ekonominya. Inilah salah satu alasan atas kejatuhan mereka setelahnya. Yang paling merusak kelas pekerja Jerman adalah pemahaman bahwa mereka sedang bergerak bersama arus. Pandangan ini mengatakan bahwa perkembangan teknologi adalah kekuatan penggerak arus yang mereka arungi. Dari sana, tinggal selangkah lagi sampai ke ilusi bahwa kerja pabrik yang dilancarkan oleh kemajuan teknologi merepresentasikan pencapaian politis. Etika kerja Protestan yang lama dibangkitkan kembali di kalangan pekerja Jerman dalam bentuknya yang sekuler. Program Gotha[iii] sudah menunjukkan jejak-jejak kekacauan ini, dengan mendefinisikan kerja sebagai “sumber semua kekayaan dan semua budaya“ bahwa “manusia yang hanya memiliki properti lain selain tenaga kerja“ harus karena kebutuhan menjadi “budak bagi manusia lain yang menjadikan diri mereka pemilik.“ Namun kekacauan ini menyebar, dan segera setelahnya Josef Dietzgen menyatakan: “Penyelamat di zaman modern adalah kerja. Perbaikan…proses kerja menentukan kekayaan yang sekarang bisa mencapai apa yang belum pernah dicapai penebus lainnya.“ Konsepsi Marxis vulgar tentang hakikat kerja ini mengabaikan pertanyaan bagaimana produk dapat memberi manfaat pada pekerja jika mereka berada di luar jangkauan para pekerja ini. Konsep ini hanya mengenali kemajuan dalam penguasaan alam, bukan kemunduran masyarakat; ia sudah menampakkan ciri teknokratis yang kelak muncul sebagai fasisme. Di antaranya adalah konsepsi alam yang secara mengkhawatirkan berbeda dengan yang diperjuangkan oleh kelompok Utopia sosialis sebelum Revolusi 1848. Pemahaman baru tentang kerja berujung pada eksploitasi alam, yang dengan kepuasan diri yang naif dilawankan dengan eksploitasi proletariat. Dibandingkang dengan pandangan positivistik ini, fantasinya Fourier yang seringkali diolok-olok, secara mengejutkan terbukti handal. Menurut Fourier, kerja kooperatif akan meningkatkan efesiensi sedemikian rupa sehingga, empat bulan akan menyinari bumi di malam hari, es akan menghilang dari kutub, air laut tidak akan terasa asin lagi, dan binatang pemangsa akan dijinakkan oleh manusia. Semua ini menggambarkan sejenis kerja yang, sama sekali tidak mengeksploitasi alam, mampu membantunya melahirkan ciptaan-ciptaan yang selama ini terbaring sebagai potensi di rahimnya.  Alam, sebagaimana dikatakan oleh Dietzgen, yang “eksis secara gratis“, yang menjadi komplemen dari konsepsi kerja yang sudah dikorupsi.

XII

Kami butuh sejarah, tapi kebutuhan kami

berbeda dengan para pemalas lunglai di taman pengetahuan.

-Nietzsche, Nutzen und Nachteil der Historie für das Leben

Subyek pengetahuan sejarah adalah kelas yang berjuang dan direpresi itu sendiri. Marx menggambarkannya sebagai kelas terakhir yang diperbudak—si pembalas dendam yang menuntaskan tugas pembebasan atas nama generasi yang tertindas. Keyakinan  yang sempat mengemuka di kalangan Liga Spartacus[iv] ini selalu dipandang miring oleh kaum Sosial Demokrat. Dalam kurun tiga dekade mereka berhasil hampir sepenuhnya menghapus nama Blanqui, meskipun gaung nama ini  telah menggetarkan abad sebelumnya.
 Demokrasi Sosial yakin bahwa dengan memberikan peran pada kelas pekerja sebagai penebus generasi masa depan akan memotong otot-ototnya yang paling kuat. Indoktrinasi ini membuat kelas pekerja lupa pada kebencian dan semangat pengorbanannnya, karena keduanya dirawat oleh citra nenek moyang yang diperbudak alih-alih  cita-cita terbebaskannya anak cucu.

XIII

Setiap hari cita-cita kami menjadi semakin jelas

dan orang menjadi semakin pintar

-Josef Dietzgen, Sozial-demokratische Philosophie

Teori Sosial Demokrasi dan juga praktiknya, dibentuk oleh konsepsi tentang kemajuan yang tidak berhubungan dengan realitas namun membuat klaim-klaim dogmatis. Kemajuan sebagaimana dibayangkan oleh para Sosial Demokrat, pertama-tama, adalah kemajuan umat manusia itu sendiri (dan bukan hanya kemajuan pada kemampuan dan pengetahuan manusia). Kedua, ia adalah sesuatu yang tanpa batas (bersesuaian dengan daya paripurna kemanusiaan yang tak terbatas). Ketiga, ia dianggap tidak dapat ditolak, sesuatu yang secara otomatis bergerak secara lurus atau spiral. Semua asumsi ini kontroversial dan terbuka bagi kritik. Namun demikian pada gilirannya kritik harus menembus semua asumsi ini dan difokuskan pada kesamaan di antara mereka. Konsep kemajuan sejarah umat manusia tidak dapat dipisahkan dari konsep gerak lajunya melalui waktu homogen dan kosong. Kritik terhadap kemajuan yang demikian harus menjadi basis bagi semua kritik kemajuan itu sendiri.

XIV

Asal mula adalah tujuan

– Karl Kraus, Worte in Versen I

Sejarah adalah subyek suatu konstruksi yang tempatnya bukan pada waktu homogen dan kosong, melainkan waktu yang dipenuhi oleh waktu kini [Jetztzeit]. Bagi Robespierre, zaman Romawi adalah masa lalu yang sarat dengan waktu yang kini, yang ia ledakkan dari kontinum sejarah. Revolusi Prancis menganggap dirinya sebagai reinkarnasi dari Roma. Ia merujuk Romawi kuno persis seperti mode merujuk gaya pakaian yang sudah lawas. Mode punya penciuman tajam pada apa yang aktual, di manapun ia berkelana dalam belantara yang telah lalu; ia adalah lompatan macan ke masa lalu. Akan tetapi lompatan ini berlangsung dalam arena di mana kelas penguasa yang memberi perintah. Lompatan yang sama dalam langit terbuka sejarah adalah lompatan dialektik yang dipahami Marx sebagai revolusi.

XV

Yang mencirikan kelas revolusioner dalam momen aksi mereka adalah kesadaran bahwa mereka akan meledakkan kontinum sejarah. Revolusi besar mengenalkan kalender baru. Hari pertama di kalender berfungsi sebagai kamera selang waktu (time-lapsed) historis. Dan pada dasarnya, ia adalah hari yang sama yang terus berulang dalam samarannya sebagai liburan, yang adalah hari-hari peringatan. Maka, kalender tidak mengukur waktu sebagaimana yang dilakukan jam: mereka adalah monumen kesadaran sejarah yang jejaknya tak sedikitpun tampak di Eropa dalam beberapa ratus tahun belakangan. Dalam revolusi Juli suatu insiden terjadi dan menunjukkan bahwa kesadaran ini masih hidup. Pada malam pertama peperangan, yang terjadi adalah semua jam di menara dibakar secara serentak dan terpisah di beberapa lokasi di Paris. Seorang saksi, yang mungkin saja punya pandangannya sendiri atas ritme, menulis sebagai berikut:

Qui le croirait! on dit, qu’irrités contre l’heure 

De nouveaux Josués au pied de chaque tour,

Tiraient sur les cadrans pour arrêter le jour

(Siapa sangka! Seakan marah dengan cara waktu

Joshua-joshua baru di bawah menara jam

Membakar jam-jam demi menghentikan hari)

XVI

Seorang pelaku materialisme historis takkan berhasil tanpa pengertian masa kini yang bukan transisi, tapi di mana waktu diam dan berhenti. Karena pengertian ini mendefinisikan masa kini di mana ia sendiri menuliskan sejarah. Historisisme menghaturkan citra “abadi“ masa lalu; materialisme historis memasok pengalaman unik dengan masa lalu. Si sejarawan materialis membiarkan yang lain untuk tersedot oleh pelacur yang bernama “Dahulu kala“ di rumah bordil historisisme. Ia tetap mengontrol kekuatannya, cukup berani untuk menjebol kontinum sejarah.

XVII

Historisisme pada galibnya berkulminasi dalam sejarah universal. Perbedaan penulisan sejarah materialis dengan sejarah universal lainnya jelas ada pada metode. Sejarah universal tidak punya persenjataan teori. Metodenya bersifat aditif: ia menghimpun sekumpulan data untuk mengisi waktu homogen dan kosong. Historiografi materialistik, sebaliknya, dilandasi oleh prinsip konstruktif. Berpikir tidak hanya melibatkan gerak pikiran, tapi juga perhentiannya (Stillstellung). Sementara berpikir secara mendadak berhenti dalam satu konstelasi yang kuyup dengan tegangan, ia mengejutkan konstelasi tersebut dan dengannya pikiran mengkristal menjadi suatu monad. Seorang pelaku materialisme historis mendekati subyek historis hanya di mana ia menjumpainya sebagai monad. Dalam struktur ini ia mengenali tanda penghentian peristiwa mesianik, atau dengan kata lain, sebuah kebetulan revolusioner dalam perjuangan bagi masa lalu yang direpresi. Ia mengenalinya demi untuk meledakkan satu epoch tertentu keluar dari arus waktu yang homogen—dengan demikian meledakkan satu kehidupan tertentu keluar dari epoch tertentu  atau suatu karya keluar dari karya hidup. Akibat dari metode ini maka karya hidup diawetkan sekaligus disublasi (aufgehoben)[v]  dalam karya, epoch dalam karya hidup, dan seluruh rentang sejarah dalam epoch. Buah bergizi dari apa yang dipahami secara historis mengandung waktu di dalamnya sebagai biji yang berharga, tapi tanpa rasa.

XVIII

“Dalam hubungannya dengan sejarah semua kehidupan organik di dunia“ tulis seorang biologis modern “limapuluh milenium menyedihkan yang ditempuh homo sapiens adalah setara dengan sekitar dua detik di penghujung satu hari dengan dua puluh empat jam. Berdasarkan skala ini, sejarah peradaban manusia hanya akan mengisi seperlima dari detik terakhir di jam terakhir.“ Sebagai model dari waktu mesianis, waktu kini yang terdiri dari seluruh sejarah umat manusia adalah ringkasan luar biasa, yang tepat berpapasan dengan sosok yang menggambarkan sejarah umat manusia dalam semesta.

ADDENDUM

A

Historisisme memuaskan dirinya sendiri dengan membangun hubungan kausal antara beberapa momen dalam sejarah. Tapi karena itu pula tidak ada peristiwa yang punya signifikansi kausal historis. Ia menjadi historis secara anumerta, sebagai mana dulunya, meskipun peristiwa-peristiwa ini mungkin dipisahkan oleh ribuan tahun. Sejarawan yang berangkat dari titik ini berhenti menceritakan urutan peristiwa seperti manik-manik rosario. Alih-alih, ia menangkap konstelasi yang terebntuk dari kontak antara eranya sendiri dan masa yang tepat sebelumnya. Maka ia membangun konsepsi kini sebagai “waktu kini“ yang ditembakkan melalui pecahan waktu mesianis.

B

Para peramal yang mendapati apa yang disimpan oleh waktu jelas tidak mengalami waktu sebagai homogen dan kosong. Siapapun yang mengingat ini mungkin akan memahami bagaimana masa lalu dialami dalam peringatan-yakni, dengan cara yang sama saja. Kita tahu bahwa kaum Yahudi dilarang untuk menyelidik masa depan: Torah dan doa-doanya memerintahkan mereka untuk mengingat. Ini menggugurkan sihir masa depan, yang mempesona mereka semua yang datang ke para peramal demi pencerahan. Ini bukan berarti bahwa bagi Yahudi masa depan berubah menjadi waktu homogen dan kosong. Karena setiap detik adalah gerbang yang mungkin jadi pintu masuk bagi  si Juru Selamat.

*Ditulis Februari- Maret 1940, dikutip dari Gesammelte Schriften, I, 691-704, dialihbahasakan ke Indonesia oleh Ferdiansyah Thajib, dengan tiga sumber terjemahan Inggris sebagai perbandingan: Dennis Redmond, Lloyd Spencer dan Harry Zohn.

CATATAN


[i]  Istilah Prancis ini berarti “satu kutipan sebagai (bagian ) dari urusan hari itu,“ „kutipan urusan yang genting dalam momen tertentu. Dalam konteks militer juga berarti sesuatu yang disebut dalam laporan hari ini

[ii] Hanya sedikit yang bisa menebak betapa sedihnya dia  sehingga dapat menyadarkan Carthage.

[iii] Kongres Gotha pada 1875 menyatukan kedua partai Sosialis Jerman, satunya dipimpin Ferdinand Lassalle, lainnya Karl Marx and Wilhelm Liebknecht. Program yang dirancang oleh Liebknecht dan Lassalle dikritik keras Marx di London, lihat ‘Critique of the Gotha Program’.

[iv] Kelompok kiri yang didirikan oleh Karl Liebknecht dan Rosa Luxemburg pada awal Perang Dunia I, sebagai oposisi kebijakan pro-perang partai Sosialis Jerman.

[v] Istilah dalam dialektika Hegel, yang bisa diartikan diangkat, diakui, digagalkan, sekaligus diawetkan.

Leave a Comment