Ranah Sonik sebagai Dunia Ruang-Waktu Yang-Mungkin

Foto: @twitkocheng

Para seniman mendengarkan dan menghasilkan kemungkinan lanskap dari kemungkinan akan waktu dan ruang, mengisyaratkan jamaknya realitas dan menantang aktualitas tunggal yang apa adanya. Mobilitas suara tak kasat mata menerangkan dan mendorong penjelajahan ini dan mengajak pendengarnya untuk masuk ke dalam lapisan-lapisan kemungkinan untuk memahami bangunan yang riil dan ikut serta di dalam rekonstruksinya: untuk membangun dunia ruang-waktu yang-mungkin (possible) dan memperhitungkannya dalam gagasan terkini mengenai aktualitas.

Saya sementara sampai pada kemungkinan bunyi di dalam Listening to Noise and Silence, khususnya melalui kemampuan radio dalam mempertanyakan waktu obyektif melalui temporalitas kosong dari arusnya yang terus-menerus dan untuk meruntuhkan spasialitas dunia aktual dengan menjawab spasialitas atas mediumnya sendiri: sebuah ruang yang diciptakan “dari gelapnya gerak bunyi yang tak terduga.”[1] Saya meneruskan perenungan ini dengan mendengarkan ghost train dan palm house,[2] yang mendorong penjelajahan saya atas dunia yang-mungkin seperti yang dibahas di dalam filsafat Rene Descartes dan Gottfried Wilhelm Leibniz, dan nantinya di dalam filsafat logika, teori sastra dan studi desain game, untuk menghasilkan sebuah pemahaman dan artikulasi mengenai kompleksitas plural dunia dari pluralitas soundscape yang tidak dapat ditaklukkan ke dalam satu aktualitas kecuali kita mereduksinya secara ideologis dan dengan sengaja menjadikannya semau kita.

Mendengarkan pluralitas lanskap dan kemungkinan-kemungkinannya, mendengar kejamakan produksinya yang bergerak, memungkinkan kita untuk menantang aktualitas dan mengartikulasikan sebuah makna lain atas tempat dan sebuah makna lain atas diri yang hidup di dalam kemungkinan-kemungkinan tersebut dan menunjukkan bagaimana hal-hal lain dapat mewujud.

Usulan saya, soundscape bukan sebagai dunia lain, mistis, atau ganjil, tetapi tawaran sudut pandang alternatif, atau sudut-sudut pandang alternatif, mengenai apa yang dimaksud dengan dunia, dan bagaimana kita hidup di dalamnya, menunjukkan kepada kita hal-hal lain yang mungkin dan bagaimana pula kita dapat mendiaminya. Bunyi merambat melalui kerangka dan penyusunan visual untuk menawarkan hal-hal lain: kerangka-kerangka ulang yang temporer, tak kasat mata dan singkat, menuntut partisipasi kita sekaligus mengkerangkai ulang si pendengar. Dunia tersebut adalah dunia-dunia tak kasat mata yang bepergian, dunia-dunia ruang-waktu yang diciptakan terus menerus dan bergantung pada pluralitas ruang dan waktu sebagai ranah temporal yang kita tinggali dan yang kita perluas sesuai nilainya melalui bagaimana kita mendiaminya.

Bagi Descartes dan Leibniz, bahasan mengenai alam, lanskap, terikat dengan gagasan tentang Tuhan, penciptanya. Tuhan dapat membayangkan dan menciptakan dunia apapun, maka keniscayaan dunia tersebutlah, yang menentukan dan membentuk aktualitasnya. Apa yang diwujudkan, ditentukan oleh sebuah “mekanisme ilahiah”:[3] Tuhan bersifat tanpa batas dan sempurna, sedangkan manusia terbatas dan cacat, dan kemungkinan adalah milik Tuhan. Bagi Descartes, yang kemudian tersisa hanyalah dunia tunggal namun dunia-dunia yang-mungkin pertama kali dijangkau melalui perpanjangan yang dapat dinalarkan dan yang diwujudkan. Meskipun demikian, mengingat bahwa Tuhan berada pada rantai tertinggi dari nalar yang membawa kita kepada kemungkinan-kemungkinan tersebut, mewujud atau intelektual, dunia yang-mungkin dicapai melalui sesuatu yang tidak juga berbeda dengan yang aktual. Kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak secara otonom menjadi yang-mungkin, melainkan sebagai latensi dari dunia aktual. Kemungkinan tersebut adalah wilayahnya sendiri: “Maka terdapat dua wilayah kebenaran: wilayah kebenaran mutlak, dan dari wilayah tersebut yang tidak keliru, karena ia tidak keliru, maka ia dapat ditegaskan sebagai benar. Positivitas ini memuluskan jalan sebuah negasi dari negasi. Tetapi  berkat jaminan ilahiah, Descartes benar-benar mengamini tatanan nalar.”[4]

Bagi Leibniz dunia aktual juga dipilih Tuhan sebagai ‘dunia paling sempurna dari seluruh dunia-dunia yang-mungkin’, sebuah pilihan yang dihasilkan untuk mengizinkan kejahatan yang terikat dengannya, tetapi bagaimanapun ia tidak mencegah dunia mewujud, dengan segala pertimbangan, terbaik dari yang paling baik”[5] Ia menghubungkan yang aktual, dunia paling sempurna dari seluruh dunia-dunia yang-mungkin, paling dekat di antara kemungkinan lainnya. Dunia-dunia yang tetap mengacu satu sama lain, yang tetap berada di satu semesta kemungkinan-kemungkinan, terpisah hanya dalam masa pemilihannya. “Agar dunia yang ada menjadi kontingen dan menjadi sebuah ketidakterbatasan dunia-dunia lain yang sama mungkinnya, dan sekiranya, memegang klaim setara atas keberadaan dengannya, awal mula dunia harus sudah memiliki hubungan atau acuan ke seluruh dunia yang-mungkin untuk memahami salah satu dari mereka.”[6] Bagi Leibniz, awal mula aktualitas dunia adalah Tuhan, yang menjadi keniscayaannya, pemilik segala nalar, dan kebenaran di dalam dunia ini. Tetapi, “hubungan atau acuan” ke dunia-dunia lain, singgungan ikatan kuat pada yang-mungkin dan yang aktual, menginginkan sebuah imajinasi kaya tentang apa yang dapat dihasilkan dari potensi dunia-dunia jika orang lain berkuasa.

Alam kita, pemaknaan kita akan lanskap dan ruang di dalamnya, berbeda dengan Leibniz dan Descartes karena pemaknaan kita tentang Tuhan, tentang nalar, kebenaran dan keniscayaan tidak sama. Lanskap-lanskap kita adalah buatan manusia, secara literal maupun metaforis. Ia dibangun dan dibangun di sekitar kita, oleh kita, melalui makna kita akan alam yang tersaring bukan melalui visi kekuasaan lebih tinggi melainkan akal saintifik, pengetahuan, bahasa dan pengukuran. Sang pencipta bukan lagi Tuhan: kebenaran dan nalar telah kehilangan tuan tertingginya, dan selayaknya akal saintifik pasca pencerahan hadir berpasangan dengan individiualitas, minat diri dan ideologi, segala sesuatu yang dapat didengar, dikembangkan dan ditantang melalui sebuah sensibilitas terhadap kejamakan bunyi. Kontingensinya adalah milik kita, bukan Tuhan, dan jika Tuhan masih ada, ia termediasi oleh hasrat dan kecemasan kita mengenai siapakah dirinya dan bagaimana ia terhubung dengan kita.[7] Kita bisa saja masih mempertimbangkannya sebagaimana kita merenungkan dunia, tetapi posisi individual dan temporal kita merefleksikan sebuah kebenaran dan nalar yang kontingen, yang menegaskan keniscayaan diri tumbuh dalam kaitannya dengan sebuah rencana rasional atas dunia, daripada berdasarkan sebuah kepercayaan universal dan absolut. Pandangan Tuhan digantikan oleh wahana sudut pandang individualitas dan nalar, menunjukkan kepada kita geografi rasionalitas kita sendiri. Inilah versi agnostik dari posisi Michael de Certeau di puncak World Trade Center, meninjau teks padu atas kota melalui sebuah hasrat pengetahuan absolut dari apa yang terlihat.[8] Rantai akal yang menentukan keniscayaan dari topografi visual ini tidaklah bersifat individual; meskipun demikian, ia politis dan ekonomis, sebagaimana daya ideologis dan sosial yang menentukan kemungkinan dunia aktual. Kemungkinan normatif ini direpresentasikan di dalam sebuah geografi yang menghasilkan peta-peta kasat mata, yang menjamah medan tertentu: alur peta dan menentukan yang tak terjangkau.

Geografi tradisional menghasilkan sebuah kartografi positivis peta tanpa sentimen, sebuah taksonomi ruang—sebuah bangunan topologis aktual dari atas, secara literal dan ideologis. Jika kita menghilangkan pandangan Tuhan dan wahana nalar, sebagai sebuah posisi tinjau yang aktual dan metaforis dan sebuah kesadaran, yang tertinggal bagi kita adalah geografi keraguan dan kecemasan yang tercipta secara kontingen di dalam tindakan pemetaan tunggal dan tersendiri dari alur-alur individual, sebuah lanskap tanpa bentuk dan tak terjejaki di mana kita bertindak alih-alih di atas medannya, dan geografinya tetap cemas dan afektif, penuh keraguan, ketidakpastian, dan patologi diri.

Geografi manusia atau sosial menjawab kartografi positif peta sama halnya dengan kecemasan pemetaan tanpa bentuk melalui tekanannya pada interaksi manusia di dalam lanskap, dan menghasilkan peta-peta dari praktik dan hubungan-hubungan sosial. Tekanan pada tindakan, pada interaksi, secara prinsip membuka pintu bagi bunyi untuk memasuki wacana geografis dan setidaknya kemudian membuka kemungkinan-kemungkinan sonik masuk ke dalam kerangka investigasi geografis: untuk kemudian berfikir tentang sebuah geografi yang tidak hanya kasat mata tetapi juga dunia-dunia sonik tak kasat mata dan sosialitas dan subyektifitas sonik yang dapat terjadi di dalamnya. Pada praktiknya, bagaimanapun, bunyi seringkali diperlakukan sebagai sebuah hiasan, menyediakan isi dari data visual atau menampilkan proses-proses yang segera terjadi ditranskripkan ke dalam sebuah bahasa visual. Dibayangi oleh sifat persuasi sebuah topografi visual, bunyi tetap tidak mampu membantah prinsip-prinsip geografi untuk menunjukkan kepada kita sebuah dunia yang lebih meragukan dan lebih tidak kekal dari bawah ke atas.

Geografi sosial menggantikan Tuhan dan kartografi dengan agensi manusia, termasuk bunyi dan tindakan mendengar; ia tidak membenarkan kemungkinan-kemungkinan agensi semacam itu, tetapi hanya menggunakannya untuk mengamati dan mendukung yang aktual. “Geografi, bagaimanapun, pada dasarnya adalah visual, yang secara tradisional menggunakan observasi sebagai jalur menuju pengetahuan, dan mengaitkan penglihatan sebagai ukuran kebenaran […] geografi cenderung menggemari sebanyak mungkin dan terlebih, apa yang dapat kita pikirkan sebagai ideologi-ideologi visual.”[9]

Namun bagaimana caranya kita memetakan dunia dalam kegelapan, di mana lanskap adalah sesuatu yang jamak, kabur, dan sangat privat? Jenis geografi macam apa yang dapat memetakan mobilitas suara tak kasat mata?

Dalam mendengar, kita tidak mengamati melainkan memanen, dan kita selalu menjadi bagian dari soundscape yang kita dengar. Kita berpartisipasi di dalam produksi peta-peta tak terlihat yang menciptakan sebuah geografi temporal yang tidak berterus terang, bukan yang ilahi atau bukan yang sosial atau peta itu sendiri, tetapi ia menghasilkan sebuah kejamakan ranah-ranah ruang-waktu yang bersifat sonik termasuk memori, kecemasan dan sentimen. Bunyi mengajak kita berjalan dan memproduksi jalan-jalan yang membangun sebuah geografi kontingen di antara diri dan dunia tempat kita hidup, tanpa menegaskannya pada sebuah otoritas terpusat atau determinan, tidak juga bersifat ilahi atau saintifik. Kita kemudian tetap dilingkupi di dalam kekaburan dengan apa yang kita tidak bisa lihat daripada diposisikan dalam jalur tertentu.

Gagasan Dunia yang-mungkin dari Descartes dan Leibniz, dinilai berdasarkan sebuah sensibilitas sonik, yang tidak ditentukan oleh Tuhan atau oleh sains, yang tidak menjadi keniscayaannya, si pemilik akal dan kebenaran. Dunia sonik yang-mungkin justru “dipilih,” sebagaimana ia dihasilkan, oleh pendengar dan mengungkap kemungkinan-kemungkinan kontingen, “perpanjangan” sonik, atas aktualitas yang mereka datangi bukan melalui sebuah “negasi dari negasi” tetapi melalui negosiasi antara dunia tak kasat mata milikmu dan milikku.

Pameran Road Tunnel

membunyikan geografi lokasinya sendiri dalam bentuk auman dinosaurus. Anak-anak bersuara di dalam perut si binatang melenturkan kakunya struktur. Terowongan tersebut secara visual memiliki sebuah bentuk yang menerangkan sumber daya akustik dari bangunan tersebut dan memberi bagan fungsi dari desainnya: untuk dengan dahsyatnya mengarahkan orang-orang ke dua tujuan. Secara sonik, ia lebih kompleks dan membingungkan, memperluas dan bertemu di tempat yang berbeda, memberi ruang dan mengambilnya, menerobos ke dalam dan ke luar dari sebuah ritme yang tidak memiliki ketukan. Di satu tempat ia meledak, di tempat lain ia tetap utuh, bergerak dengan lancar ke segala arah. Aku mendengar sekilas, sekilas melalui perut si binatang yang mengaum di atas tetapi bergetar di bawahnya. .

SOUNDWORDS.TUMBLR.COM January 13, 2013, 11:44 p.m.

Sonik ruang-waktu adalah waktu dan ruang sebagai kata kerja, sebagai sesuatu yang mengerjakan sesuatu. Ia tidak mengukur atau meninjau sebuah tempat, melainkan tempat sebagai produksi sonik yang terdengar sebagai mobilitas tak kasat mata yang melaluinya aku mendengar geografinya memicu pemetaan atas imajinasi pendengaranku.

Melalui pemetaan sonik inilah tempat terdengarnya bunyi sekaligus terkait dengan imajinasi pendengaranku, tindakan mendengar, sebagai sensibilitas sonik, berjasa bagi geografi sosial dan manusia. “Ia adalah subyek di dalam bunyi, tindakan mendengar, dan timbal balik dalam pembunyiannya, di mana tempat dan identitas dicobakan pada peta-peta ‘geografi-sonik-sosial’.”[10] Sensibilitas soniklah yang memasukkan yang-afektif ke dalam sains tentang tempat: kita mendengar yang menyedihkan layaknya sifat afektif dunia. Yang menyedihkan tersebut bukanlah kekeliruannya, ia bukan sebuah kritik atau sebuah fiksi tentang sebuah dunia yang absolut, tetapi adalah kebenaran dunia terdengar melalui mobilitas tak terlihat. Ia adalah sebuah kebenaran lain tentang tempat, makna atas geografi afektifnya, yang dapat menyediakan lapisan lain bagi penjelajahan geografisnya: pemetaan tidak hanya tentang bangunan spasial yang aktual dan proses dalam masyarakat dan identitas, tetapi juga hubungan spasial dan subyektivitas-subyektivitas yang-mungkin di mana setiap tindakannya dapat dipahami dan dapat dilakukan.

Geografi sonik adalah sebuah agensi, sebuah praktik berjalan dan mendengar, melakukan dan melakukannya lagi. Tidak ada ukuran, tidak ada peta, hanya materialitas tampak yang terpapar di telinga-telinga kita—mendengar geografi kita sendiri.

Dialihbahasakan oleh Fiky Daulay

Disunting oleh Khoiril Maqin


[1] Voegelin, Listening to Noise and Silence, hal. 160.

[2] Catatan penerjemah: Palm house mengacu kepada bangunan zaman Victoria yang menjadi representasi kejayaan kolonial Inggris. Bangunan ini menjadi ruang bagi pameran Chris Watson yang menggunakan pengalaman bunyi sebagai kereta hantu (ghost train) dengan judul asli El Tren Fantasma. Penjelasan mengenai karya ini terlebih dahulu dijelaskan pada halaman lebih awal di bab yang sama.

[3] Di dalam bukunya Nature, Merleau-Ponty menerangkan bahwa baik menurut Leibniz dan Descartes, berkat penalaran Tuhan sebagai “’mekanisme ilahiah’ tersebut kemungkinan terbesar (heaviest possible) menjadi benar-benar mewujud.” Nature, diterjemahkan oleh Robert Vallier, Evanston, IL: Northwestern University Press, 2003, hal. 11. Bagi Descartes penalaran ini adalah sebuah kehendak intelektual, terpisah dari penalaran material dunia, terejawantahkan sebagai mekanisme ilahiah.

[4] Di dalam Sixth Meditation, Descartes membahas perpanjangan intelektual, pemahaman murni, dalam kaitannya dengan imajinasi sebagai perpanjangan yang disadari, ketika tubuh bergerak menuju yang-mungkin untuk mewujudkannya dalam gerak tersebut. Akan tetapi, tuntutannya pada subyek sebagai “materi yang berfikir” (thinking thing) berarti bahwa tubuh, imajinasi, dan sensasi tetap sekunder bagi pikiran,

Maka, berdasarkan fakta saja bahwa aku mengetahui bahwa aku ada, dan pada saat yang bersamaan aku mengamati tak ada yang dimiliki alamku selain fakta tunggal bahwa aku adalah sebuah materi yang berfikir, aku dengan tepat menyimpulkan bahwa esensiku terlingkupi di dalamnya saja, bahwa aku adalah sebuah materi yang berfikir. Dan meskipun aku memiliki sebuah tubuh yang menyatu sangat dekat denganku, […] aku sangat berbeda dengan tubuhku dan aku dapat hadir tanpanya.

René Descartes, Meditations, diterjemahkan oleh Desmond M. Clarke, London: Penguin Books, 2000, hal. 71.

[5] Merleau-Ponty, Nature, hal. 17.

[6] Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy, Essays on the Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil. Gutenberg eBook, www.gutenberg.org/ebooks/17147, 2005, hal. 69, halaman asli 1710.

[7] Ibid., hal. 129.

[8] Pertentangan antara ketidakterbatasan sempurna Tuhan melawan keterbatasan tak sempurna manusia di dalam Leibniz dan Descartes, menunjukkan sebuah dialektika teologis yang menentukan alam pikiran filsafat barat hingga saat ini. Sebaliknya, tindakan mendengarkan ranah sonik terlibat di dalam tegangan-tegangan menyenangkan yang mengungkap persamaan, perbedaan nan setara, alih-alih pertentangan, dan makna tercipta dalam tindakan mencerap sebagai mengalami rasa bunyi alih-alih berada di antara banyak benda-benda. Di dalam kealpaan Tuhan yang kabur, kita harus berfikir ulang atas sifat dialektis dan berupaya memahami dunia melalui sebuah sensibilitas sonik atas gerak simultan generatif yang tidak mencari ketidakterbatasan sempurna namun menghasilkan apa yang dimaksud dengan saat ini sebagai sebuah keterbatasan jamak dan tanpa henti.  

[9] Di dalam tulisannya “Walking in the City” dari The Practice of Everyday Life, Michel de Certeau memaparkan New York dari puncak World Trade Center dan dari tingkat jalanan. Ia menyandingkan pandangan teks urban total dari atas, dorongan gnostik yang mengarahkan pandangan “seperti Tuhan” ini, yang dihasilkan melalui “Wandersmänner” “di bawah sana,” “tubuh mereka mengikuti riuh rendah sebuah “teks” urban yang mereka tulis tanpa mampu membacanya.” Michel de Certeau, “Walking in the City,” dalam The Practice of Everyday Life, diterjemahkan oleh Steven Randall, London: University of California Press, 1988, hal. 93.

[10] Susan J. Smith, “Beyond Geography’s Visible Worlds: A Cultural Politics of Music” (hal. 502–29), Human Geography, 21(4), (1997), 503.

j j j

Sinema Kini

Suasana pembatasan ruang di daerah jalan Kaliurang, Yogyakarta. Foto: Fiky Daulay, Mei 2020

Aku tergugah oleh surat Jia Zhangke yang membuatku merasakan pentingnya kekerabatan pada masa pembatasan diri. Aku bercita-cita melakukan hal yang sama dengan berbagi sedikit buah pikiran sebagai berikut.

Pagi ini aku memikirkan sebuah kata, ‘perjalanan,’ dan bagaimana kita terhubung dengan hal tersebut. Saat kita muda pada sebuah perjalanan darat, pikiran gelisah kita mengingatkan kita untuk mengulangi: ‘Kita sudah sampai, belum?’, ‘Kapan kita akan sampai?’ Saat kita tumbuh dewasa kita menaruh perhatian lebih pada pemandangan yang berlalu. Kita mengamati pohon-pohon, rumah-rumah, rambu-rambu, kendaraan lainnya. Kita melatih diri untuk tetap kalem dalam sebuah perjalanan. Kita tahu ada sebuah tujuan di sana.

Film sendiri adalah sebuah perjalanan. Ia mengarahkan kita pada ujung-ujung dramatis yang berbeda. Di sepanjang perjalanan menuju ujung-ujung tersebut terdapat sumpalan yang berfungsi sebagai tujuan-tujuan kecil. Semakin halus seorang pembuat film mengisi perjalanan dan membuat penonton lupa akan waktu, semakin dekat ia dengan ‘seni’ membuat film. Teknisi kostum, ahli rias, boom man, tim pencahayaan, editor, musisi, dan lain-lain, intinya, seluruhnya bekerja keras menggerakkan penonton menuju tujuan-tujuan tersebut.

Tidak seperti sebuah film, perjalanan Covid-19 tujuannya samar. Tidak seperti sebuah perjalanan darat, kita tidak berpindah. Kebanyakan kita berdiam diri di rumah masing-masing. Kita melihat pemandangan yang sama ke luar jendela dan… kita tetap melihatnya.

Kita merasakan kerentanan pikiran dan raga kita. Kita awas akan jam internal dan eksternal kita. Kebiasaan pagiku telah terbentuk. Aku ingat setiap langkah yang kuambil saat menyiapkan sarapan. Aku ingat bagaimana arah matahari di luar pada saat kapanpun.

Untuk menjaga kewarasan, beberapa dari kita menganut teknik-teknik kesadaran penuh. Kita berusaha untuk mengamati lingkungan, emosi-emosi, tindakan-tindakan, waktu, kefanaan kita. Ketika masa depan tidak pasti, yang kini menjadi berharga.

Pagi ini, setelah sarapan (sepiring buah-buahan, sereal weet-bix, dan dua telur rebus), aku membayangkan sebuah skenario. Barangkali suasana saat ini akan menelurkan sekelompok orang-orang yang telah mengembangkan sebuah kemampuan untuk bertahan lebih lama pada masa kini dibandingkan orang lain. Mereka mampu memandangi beberapa hal tertentu dalam waktu yang panjang. Mereka berkembang dalam kesadaran penuh.

Setelah virus kita kalahkan, saat industri sinema telah bangkit dari tidurnya, kelompok baru ini, sebagai penonton film, tidak ingin ikut dalam perjalanan sinema usang yang sama. Mereka telah menguasai seni melihat; para tetangga, atap-atap rumah, layar-layar komputer. Mereka telah terlatih melalui panggilan video bersama teman yang tak terperi lagi, melalui makan malam bersama tertangkap dalam sudut kamera yang tak terputus. Mereka membutuhkan sinema yang lebih dekat dengan kehidupan yang nyata, dalam waktu nyata. Mereka menginginkan sinema Kini yang tidak memiliki sumpalan ataupun tujuan.  

Mereka kemudian akan diperkenalkan dengan film-film Bela Tarr, Tsai Ming-Liang, Lucrecia Martel, mungkin Apichatpong dan Pedro Costa dan lainnya. Dalam satu periode waktu, pembuat film yang tidak terkenal ini menjadi milyuner dari lonjakan penjualan tiket. Mereka memiliki kaca mata dan pasukan penjaga keamanan. Mereka akan membeli mansion dan mobil dan pabrik rokok dan berhenti membuat film. Tetapi para penonton akan segera menuding slow cinema ini terlalu cepat. Tanda-tanda protes akan muncul, bertuliskan: “Kami menuntut plot kosong, tak ada gerak kamera, tak ada potongan, tak ada musik, tak ada apa pun”

Manifesto Sinema Covid-19 (MSC) akan disusun agar sinema membebaskan diri dari struktur dan perjalanannya sendiri. “Sinema kami tak memiliki tempat bagi pemuasan psikologis. Tujuan abadinya adalah penonton, Sang tercerahkan”

Di dalam lorong-lorong gelap di kota-kota besar, orang-orang akan memandangi cahaya putih murni. Film-film kelak bisa saja akan sedikit kurang terang. Beberapa film akan redup sehingga jejak kepala-kepala penonton tipis terlihat. Namun, terdapat sebuah getaran semangat kesadaran-penuh yang telah dipertukarkan di antara orang-orang dan layar film. Ia seperti apa yang Jia jelaskan di dalam suratnya:” …duduk bersama, bahu bertemu bahu.” Dan ya, “Ia adalah isyarat kemanusiaan yang paling elok.”

Gerakan tersebut akan meluluhkan daya tarik dunia layaknya sebuah pandemi. Nothing Film FestivalTM akan berkembang. Sementara itu, diri-diri yang ‘mudah terpecah perhatiannya’, yang ‘terhubung’ telah menjadi minoritas. Untuk menghindari tatapan, mereka berpura-pura tenang. Mereka bernafas dan menguyah makanan perlahan. Mereka jarang menunjukkan amarah. Mereka kemudian kembali ke rumah untuk berteriak, tidur, dan berteriak lebih banyak lagi di dalam mimpi-mimpi mereka.

Para minoritas mulai segera berkumpul di lorong-lorong gelap. Mereka berlari bersama dan berbicara cepat. Mereka tidak menunggu satu sama lain untuk menuntaskan kalimat mereka. Mereka bergumul dengan bermacam-macam pikiran bersamaan sekaligus. Suatu hari seorang lelaki berkata ia telah membuat sebuah film. Ia menuntun teman-temannya yang gelisah menuju ruang bawah tanah dan memperlihatkan karyanya. Kawanan tersebut terkejut mendapati bahwa film tersebut memuat sesuatu. Mereka menatap sebuah proyeksi citra satu pemandangan di luar jendela mobil dalam kesangsian, selama 3 jam. Mereka dapat duduk diam untuk pertama kalinya, pikiran mereka bungkam.

Pemutaran-pemutaran berbahaya berlanjut kendati terdapat larangan-larangan resmi. Di bungker-bungker, gudang-gudang, orang-orang gelisah merapat untuk melihat sesuatu – ranting-ranting pohon, lautan, angin, berjam-jam lamanya. Material-material terlarang akan beredar. Mereka menyatu dengan cepat.

Pada suatu malam, layar mereka menampilkan seorang lelaki tidur selama lima jam, diikuti dengan:

Tiga lelaki mendiami sebuah meja pada satu siang. Salah satu dari mereka merokok dan membaca sebuah koran, dua lainnya sedang bermain kartu. Si perokok tersebut memanggil seorang perempuan yang membawakan mereka sebotol anggur. Lelaki itu menuangkan anggur ke dalam gelas dan menawarkan teman-temannya. Mereka bersulang dan minum-minum. Si perempuan muncul kembali dengan sebuah nampan dan membawa pergi gelas si perokok. (Pada titik ini, salah seorang dari penonton tak lagi dapat membenarkan seluruh tindakan tersebut. Ia angkat kaki dan menutup matanya). Si lelaki perokok terus membaca korannya. Ia menunjukkan satu artikel pada teman-temannya. Mereka tertawa terbahak. Sementara itu, lelaki tersebut mengambil sesuatu yang tampak seperti sehelai kertas dari kotak rokoknya, atau dari sebuah amplop. Film tamat. Para penonton duduk dalam hening. Ketiga lelaki tersebut sesungguhnya tidak tercerahkan—mereka telah tersesat di dalam embara pikiran dan keasusilaan mereka selama 67 detik.

Lalu,

Sebuah kereta api mendekati stasiun. Mesin kereta tersebut bergerak keluar frame ke arah kiri. Orang-orang di sisi peron menyapa penumpang yang turun.

Shot tersebut berlangsung selama 50 detik.

Pada suatu hari yang cerah, sebuah gerbang terbuka,

Dan para pekerja meninggalkan sebuah pabrik

selama 46 detik.

Teks asli ditulis Apichatpong Weerasethakul, sutradara Tropical Malady (2004), peraih Palme d’Or Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives (2010), dan Cemetery Splendor (2015), dan lainnya. Teks ini dimuat pada https://filmkrant.nl/opinie/signs-life-a-letter-from-apichatpong-weerasethakul/. Dialihbahasakan oleh Fiky Daulay

j j j