Sinema Kini

Suasana pembatasan ruang di daerah jalan Kaliurang, Yogyakarta. Foto: Fiky Daulay, Mei 2020

Aku tergugah oleh surat Jia Zhangke yang membuatku merasakan pentingnya kekerabatan pada masa pembatasan diri. Aku bercita-cita melakukan hal yang sama dengan berbagi sedikit buah pikiran sebagai berikut.

Pagi ini aku memikirkan sebuah kata, ‘perjalanan,’ dan bagaimana kita terhubung dengan hal tersebut. Saat kita muda pada sebuah perjalanan darat, pikiran gelisah kita mengingatkan kita untuk mengulangi: ‘Kita sudah sampai, belum?’, ‘Kapan kita akan sampai?’ Saat kita tumbuh dewasa kita menaruh perhatian lebih pada pemandangan yang berlalu. Kita mengamati pohon-pohon, rumah-rumah, rambu-rambu, kendaraan lainnya. Kita melatih diri untuk tetap kalem dalam sebuah perjalanan. Kita tahu ada sebuah tujuan di sana.

Film sendiri adalah sebuah perjalanan. Ia mengarahkan kita pada ujung-ujung dramatis yang berbeda. Di sepanjang perjalanan menuju ujung-ujung tersebut terdapat sumpalan yang berfungsi sebagai tujuan-tujuan kecil. Semakin halus seorang pembuat film mengisi perjalanan dan membuat penonton lupa akan waktu, semakin dekat ia dengan ‘seni’ membuat film. Teknisi kostum, ahli rias, boom man, tim pencahayaan, editor, musisi, dan lain-lain, intinya, seluruhnya bekerja keras menggerakkan penonton menuju tujuan-tujuan tersebut.

Tidak seperti sebuah film, perjalanan Covid-19 tujuannya samar. Tidak seperti sebuah perjalanan darat, kita tidak berpindah. Kebanyakan kita berdiam diri di rumah masing-masing. Kita melihat pemandangan yang sama ke luar jendela dan… kita tetap melihatnya.

Kita merasakan kerentanan pikiran dan raga kita. Kita awas akan jam internal dan eksternal kita. Kebiasaan pagiku telah terbentuk. Aku ingat setiap langkah yang kuambil saat menyiapkan sarapan. Aku ingat bagaimana arah matahari di luar pada saat kapanpun.

Untuk menjaga kewarasan, beberapa dari kita menganut teknik-teknik kesadaran penuh. Kita berusaha untuk mengamati lingkungan, emosi-emosi, tindakan-tindakan, waktu, kefanaan kita. Ketika masa depan tidak pasti, yang kini menjadi berharga.

Pagi ini, setelah sarapan (sepiring buah-buahan, sereal weet-bix, dan dua telur rebus), aku membayangkan sebuah skenario. Barangkali suasana saat ini akan menelurkan sekelompok orang-orang yang telah mengembangkan sebuah kemampuan untuk bertahan lebih lama pada masa kini dibandingkan orang lain. Mereka mampu memandangi beberapa hal tertentu dalam waktu yang panjang. Mereka berkembang dalam kesadaran penuh.

Setelah virus kita kalahkan, saat industri sinema telah bangkit dari tidurnya, kelompok baru ini, sebagai penonton film, tidak ingin ikut dalam perjalanan sinema usang yang sama. Mereka telah menguasai seni melihat; para tetangga, atap-atap rumah, layar-layar komputer. Mereka telah terlatih melalui panggilan video bersama teman yang tak terperi lagi, melalui makan malam bersama tertangkap dalam sudut kamera yang tak terputus. Mereka membutuhkan sinema yang lebih dekat dengan kehidupan yang nyata, dalam waktu nyata. Mereka menginginkan sinema Kini yang tidak memiliki sumpalan ataupun tujuan.  

Mereka kemudian akan diperkenalkan dengan film-film Bela Tarr, Tsai Ming-Liang, Lucrecia Martel, mungkin Apichatpong dan Pedro Costa dan lainnya. Dalam satu periode waktu, pembuat film yang tidak terkenal ini menjadi milyuner dari lonjakan penjualan tiket. Mereka memiliki kaca mata dan pasukan penjaga keamanan. Mereka akan membeli mansion dan mobil dan pabrik rokok dan berhenti membuat film. Tetapi para penonton akan segera menuding slow cinema ini terlalu cepat. Tanda-tanda protes akan muncul, bertuliskan: “Kami menuntut plot kosong, tak ada gerak kamera, tak ada potongan, tak ada musik, tak ada apa pun”

Manifesto Sinema Covid-19 (MSC) akan disusun agar sinema membebaskan diri dari struktur dan perjalanannya sendiri. “Sinema kami tak memiliki tempat bagi pemuasan psikologis. Tujuan abadinya adalah penonton, Sang tercerahkan”

Di dalam lorong-lorong gelap di kota-kota besar, orang-orang akan memandangi cahaya putih murni. Film-film kelak bisa saja akan sedikit kurang terang. Beberapa film akan redup sehingga jejak kepala-kepala penonton tipis terlihat. Namun, terdapat sebuah getaran semangat kesadaran-penuh yang telah dipertukarkan di antara orang-orang dan layar film. Ia seperti apa yang Jia jelaskan di dalam suratnya:” …duduk bersama, bahu bertemu bahu.” Dan ya, “Ia adalah isyarat kemanusiaan yang paling elok.”

Gerakan tersebut akan meluluhkan daya tarik dunia layaknya sebuah pandemi. Nothing Film FestivalTM akan berkembang. Sementara itu, diri-diri yang ‘mudah terpecah perhatiannya’, yang ‘terhubung’ telah menjadi minoritas. Untuk menghindari tatapan, mereka berpura-pura tenang. Mereka bernafas dan menguyah makanan perlahan. Mereka jarang menunjukkan amarah. Mereka kemudian kembali ke rumah untuk berteriak, tidur, dan berteriak lebih banyak lagi di dalam mimpi-mimpi mereka.

Para minoritas mulai segera berkumpul di lorong-lorong gelap. Mereka berlari bersama dan berbicara cepat. Mereka tidak menunggu satu sama lain untuk menuntaskan kalimat mereka. Mereka bergumul dengan bermacam-macam pikiran bersamaan sekaligus. Suatu hari seorang lelaki berkata ia telah membuat sebuah film. Ia menuntun teman-temannya yang gelisah menuju ruang bawah tanah dan memperlihatkan karyanya. Kawanan tersebut terkejut mendapati bahwa film tersebut memuat sesuatu. Mereka menatap sebuah proyeksi citra satu pemandangan di luar jendela mobil dalam kesangsian, selama 3 jam. Mereka dapat duduk diam untuk pertama kalinya, pikiran mereka bungkam.

Pemutaran-pemutaran berbahaya berlanjut kendati terdapat larangan-larangan resmi. Di bungker-bungker, gudang-gudang, orang-orang gelisah merapat untuk melihat sesuatu – ranting-ranting pohon, lautan, angin, berjam-jam lamanya. Material-material terlarang akan beredar. Mereka menyatu dengan cepat.

Pada suatu malam, layar mereka menampilkan seorang lelaki tidur selama lima jam, diikuti dengan:

Tiga lelaki mendiami sebuah meja pada satu siang. Salah satu dari mereka merokok dan membaca sebuah koran, dua lainnya sedang bermain kartu. Si perokok tersebut memanggil seorang perempuan yang membawakan mereka sebotol anggur. Lelaki itu menuangkan anggur ke dalam gelas dan menawarkan teman-temannya. Mereka bersulang dan minum-minum. Si perempuan muncul kembali dengan sebuah nampan dan membawa pergi gelas si perokok. (Pada titik ini, salah seorang dari penonton tak lagi dapat membenarkan seluruh tindakan tersebut. Ia angkat kaki dan menutup matanya). Si lelaki perokok terus membaca korannya. Ia menunjukkan satu artikel pada teman-temannya. Mereka tertawa terbahak. Sementara itu, lelaki tersebut mengambil sesuatu yang tampak seperti sehelai kertas dari kotak rokoknya, atau dari sebuah amplop. Film tamat. Para penonton duduk dalam hening. Ketiga lelaki tersebut sesungguhnya tidak tercerahkan—mereka telah tersesat di dalam embara pikiran dan keasusilaan mereka selama 67 detik.

Lalu,

Sebuah kereta api mendekati stasiun. Mesin kereta tersebut bergerak keluar frame ke arah kiri. Orang-orang di sisi peron menyapa penumpang yang turun.

Shot tersebut berlangsung selama 50 detik.

Pada suatu hari yang cerah, sebuah gerbang terbuka,

Dan para pekerja meninggalkan sebuah pabrik

selama 46 detik.

Teks asli ditulis Apichatpong Weerasethakul, sutradara Tropical Malady (2004), peraih Palme d’Or Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives (2010), dan Cemetery Splendor (2015), dan lainnya. Teks ini dimuat pada https://filmkrant.nl/opinie/signs-life-a-letter-from-apichatpong-weerasethakul/. Dialihbahasakan oleh Fiky Daulay

j j j